CERITA misteri tentang pocong sudah sering kali terjadi. Begitu pula kali ini menimpa Markun, yang nekat menyusuri jalan sepi di punggung bukit yang gelap, usai berkunjung ke rumah neneknya.
“Nek, aku harus pulang malam ini juga. Kasihan isteriku. Sendirian di rumah,” ujar Markun sambil menjabat erat tangan Embah Putrinya.
Mbah Wasil, Neneknya Markun, berharap cucu kesayangannya tersebut mau menginap barang semalam. Namun Markun bersikukuh tetap ingin pulang. Markun segera menstarter motornya.
Baca Juga: Lima Sifat-sifat Lemah yang Jadi Bawaan Manusia
Benar kata Neneknya. Jalan pulang menuju rumahnya teramat sangat sepi dan gelap gulita. Ditambah hujan gerimis yang turun sejak sore belum juga reda. Rumah Nenek Wasil berjarak tigapuluh lima kilometer dari rumah Markun. Berada di punggung sebuah bukit.
Jegagik! Di ujung lorong desa Embahnya, Markun terkaget-kaget. Tiba-tiba di pinggir lorong ada seorang lelaki berbaju dan bercelana putih, kopiahnya juga putih, mencegatnya.
“Oh, mangga, Pak. Mau nunut?” tanya Markun penuh hormat.
“Saya disuruh Mbah Wasil menemani sampeyan,” tutur lelaki tersebut yang langsung duduk di belakang Markun.
Baca Juga: Pengajian Rutin Ponpes Darul Quran Imam Asy Syafii Kulon Progo Urai Hikmah Sedekah
Merasa ada yang menemani, Markun gembira. Sambil mengamati jalan yang akan dilalui, tak henti-henti mulutnya bersenandung. Menyenandungkan Banyu Langit, lagu kesayangannya. Tidak banyak pembicaraan antara keduanya. Markun merasa enjoi melajukan motornya.
“Nah, ini sudah masuk kota. Pinggir jalan sudah ada lampu listrik. Aku turun sebelum jembatan Tangkil itu, Mas”, tutur lelaki berpakaian putih-putih dan berkopiah putih itu.
Masih tetap duduk di sadel, Markun mempersilakan lelaki itu turun.
Tidak sengaja dia melirik ke kaca spion sebelah kanan. Gandrik! Markun terkesiap. Saking kagetnya, dia merasa detak jantungnya berhenti.
Baca Juga: Kejujuran Membawa Nikmat 10: Pesan Terakhir dari Papa
Di kaca spion Markun tidak melihat sosok lelaki yang tadi membonceng. Yang dia lihat...sebuah pocong. Berjalan ‘jondhal- jondhil’ menjauh dari dirinya.
“Jadi...yang membonceng aku tadi...pocong?!”, gumamnya dalam hati. Keringat dinginnya spontan bercucuran. Untung, dia masih bisa menguasai diri. Selamat tiba di rumah dan berjumpa isteri tercintanya. - Nama samaran. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *