HARIAN MERAPI - Sebgi warisan budaya Nusantara yang perlu dilestarikan, para pecinta dan pelestari keris di Indonesia sudah merasa lega dan bangga.
Pasalnya, keris sudah diakui sebagai “warisan budaya dunia” oleh UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization), salah satu badan organisasi di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa yang mengurus masalah pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Keris sebagai salah satu hasil budaya bangsa Indonesia sudah diakui dan dihargai sebagai sebuah “mahakarya”, yang tidak saja indah wujud dan tinggi teknik pembuatannya, tetapi juga penuh makna filosofis berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia.
Baca Juga: Penambahan kuota PPDB SMA-SMK di Jawa Tengah disambut positif, begini tanggapan pakar pendidikan
Keris Nusantara telah diakui sebagai warisan budaya tak benda (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity), oleh UNESCO pada tanggal 25 Nopember 2005.
UNESCO dalam memberikan keterangan ini ditujukan kepada “Yayasan Damartaji,” sebuah yayasan yang memelihara, nguri-uri dan melestarikan budaya perkerisan.
Pengakuan dan pernyataan Unesco tersebut bukanlah hadiah yang diterima dengan mudah. Karena “kehebatan” atau kelebihan keris sebagai hasil dan warisan budaya bangsa Indonesia ini harus diuji oleh para yuri Unesco di Perancis.
Pengujian itu terkait dengan cara atau teknik pembuatannya, wujud dan keindahan keris, atau pun dari segi makna filosofinya.
Para ahli perkerisan Indonesia lewat Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya mengajukan proposal tentang keris sebagai warisan budaya dunia kepada Unesco untuk diuji.
Baca Juga: Pentingnya Kesiapsiagaan, 9 Bencana Berpotensi Terjadi di Bantul Mulai Gempa Bumi hingga Banjir
Meskipun UNESCO sudah mengakui keris sebagai salah satu warisan budaya dunia, namun kenyataannya wawasan orang terhadap keris bermacam-macam.
Ada orang yang sangat memuja-muja sebagai “barang pusaka yang penuh kesaktian”, tetapi juga banyak orang yang menganggap keris sebagai “atribut setan” yang menuju ke kemusyrikan dan bertentangan dengan kaidah-kaidah agama.
Pendapat-pendapat seperti itu sangat merugikan terhadap dunia perkerisan.
Orang yang mempunyai wawasan apriori dan benci terhadap keris berarti “bunuh diri budaya” yang akan mempercepat musnahnya budaya perkerisan di Bumi Nusantara ini.
Padahal, sebagai salah satu hasil budaya bangsa yang adiluhung keris perlu dilestarikan. (Amat Sukandar/Koran Merapi) *