HARIAN MERAPI - Dalam kesempatan bedah buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik di UNY, penulis buku tersebut, Sindhunata menyebut wong cilik sebenarnya sangat heroik.
Prof. Dr. Suminto A. Sayuti menyoroti soal puisi pembuka dari buku tersebut yang berjudul 'Senandung Ratu Adil'.
"Senandung Ratu Adil sudah dikatakan di bagian awal, bahwa Romo Sindhu melihat Ratu Adil dengan sudut pandang yang berbeda, ada satu sudut pandang yang menanyakan lalu yang menjawab juga. Jadi Ratu Adil merupakan sosok yang bisa bertanya dan bisa menjawab," ujarnya.
Di bagian epilognya, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta ini menangkap bahwa penulisan Romo Sindhunata menggunakan metode narrative inquairy. Hal ini penting bagi penulisan sejarah.
Ia bahkan menyoroti "Kalau boleh saya memberi judul yang berbeda, 'Ratu Adil: Heroisme Orang Kalah'. Ini penulisan yang bagi saya merupakan penulisan budaya tanding. Selama ini sejarah selalu berorientasi pada orang-orang yang menang, yang dominan.
Walaupun sesungguhnya yang dominan yang terdominasi. Diam-diam Romo Sindhu mau bilang itu dalam bukunya," katanya. Yang menarik adalah, di buku karya Sindhunata dijelaskan tentang marhaenisme, yang menjadi usaha Ir. Soekarno menjinakkan barat ke Indonesia.
Sindhunata menyetujui judul baru yang diberikan Suminto. Menurut Sindhunata, wong cilik ini hanya sebagai istilah untuk menggambarkan rakyat yang miskin, menderita, berkekurangan, dibutakan dan ditindas. Namun wong cilik ini sebenarnya sangat heroik.
Baca Juga: Peringati Hari Yoga Internasional, Solo perkuat wisata kebugaran, begini suasananya
"Itu yang saya kagumi dalam pemberontakan-pemberontakan, yang jelas bahwa mereka berhadapan dengan senjata kolonial maupun antek-anteknya yang dalam hal ini kaum feodal, birokrasi pemerintahan Belanda.''
''Itu jelas kalah gitu lho, masa kalah tetap berani gitu, ini kan heroik. Maka jangan menyepelekan kekalahan mereka, tetapi spirit heroik mereka, perlawanan mereka, dan ini yang patut kita refleksikan, juga untuk zaman sekarang," kata Sindhunata lagi.
Menurut Eka Ningtyas, S.S., M.A., wong cilik ini bukan dari perspektif agama, tapi dari kebudayaan.
"Ketika kita menggunakan kerangka agama sebagai pergerakan atau latar belakang wong cilik melakukan perlawanan, itu tidak cocok ketika menghadapi misalnya sinkretisme, agama Kristen Jawa. Karena memang pintu masuknya adalah melalui kebudayaan,"
Baca Juga: Survei Archi, Tokoh Ini Menangi Pilkada Temanggung Jika Coblosan Dilakukan Sekarang
Dosen program studi Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta ini malah tertarik dengan cover bukunya. Menurutnya, sabung ayam dan jago menjadi pilihan tema dan gambar yang luar biasa cerdas. Jago adalah simbol yang begitu kuat bagi wong cilik dalam kancah perpolitikan.