KASUS suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyati (SD) belum kelar.
Padahal, KPK telah menetapkan 10 tersangka yang terdiri SD dan stafnya serta pihak penyuap yang terdiri swasta dan pengacara. Belakangan KPK memanggil sembilan saksi dari MA antara lain Sekretaris MA.
Kalau mau jujur, selama ini KPK lebih fokus memeriksa bawahan SD, seperti asisten, panitera, panitera pengganti maupun staf MA.
Baca Juga: Atasi persoalan sampah, Desperindag Sleman gencarkan sosialisasi pengelolaan sampah pasar
Agaknya, lembaga antirasuah ini masih berputar-putar di lapis bawah. Karenanya, pemanggilan sekretaris MA merupakan langkah maju, karena dari sini bisa terungkap bagaimana kasus suap ini sampai terjadi.
Boleh jadi, Sekretaris MA akan mengatakan tidak tahu menahu soal kasus suap yang membelit hakim agung. Kalau tidak tahu, lantas tahunya apa ? Sebab, dari sekretaris inilah penanganan suatu perkara akan diketahui jelas, siapa hakim yang menangani dan sampai di mana prosesnya. Apakah sistem ini tidak jalan, atau dibiarkan dan diserahkan pada hakimnya, masih harus ditelisik.
Menkopolhukam Mahfud MD pernah mengatakan mafia hukum masih bercokol di Indonesia dan melibatkan banyak pihak seperti polisi, jaksa, hakim, pengacara dan masyarakat.
Baca Juga: Pengalaman misteri Pak Melan yang memiliki batu kodok, konon katanya ada penunggu wujud penari ledek
Nah, kasus suap pengurusan perkara di MA yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyati sesungguhnya mengonfirmasi sinyalemen Mahfud MD bahwa mafia hukum memang benar adanya dan tidak gampang memberantasnya.
Meski begitu, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk memutus mata rantai mafia hukum. Logikanya sederhana, ada orang menyuap karena ada pihak yang mau disuap. Artinya, kalau hakim tak mau disuap maka penyupan pasti tidak akan terjadi.
Sebab, hakim-lah pemegang keputusan tertinggi dalam suatu perkara. Atau bisa saja terjadi pemalsuan putusan hakim yang dilakukan oleh panitera, namun cara ini mudah terbongkar bila tidak melibatkan hakimnya.
Baca Juga: Wisata Gunung Bayangkaki Ponorogo, penuh mitos dan misteri yang menyelimutinya
Memberantas mafia hukum memang harus dilakukan sungguh-sungguh dan tidak dengan cara biasa. Sebab bila hanya dengan cara biasa tidak akan mempan. Akan terus bermunculan kasus suap serupa lainnya. Karena itu, harus ditempuh cara yang radikal dan bersifat masif. Pengawasan harus dilakukan melekat. Satu hakim mengawasi hakim lainnya agar tidak macam-macam.
Sistem penanganan perkara dengan majelis hakim sebenarnya merupakan upaya meminimalkan permainan perkara. Namun itu tidak cukup, karena yang lebih penting adalah memperbaiki mental penegak hukumnya. Indonesia butuh hakim berintegritas dan kebal disuap. (Hudono)