NAMANYA perkosaan selalu terjadi bukan atas dasar suka rela, melainkan ada unsur paksaan. Berdasar rumusan Pasal 285 KUHP, unsur perkosaan adalah adanya kekerasan, atau ancaman kekerasan, untuk melakukan persetubuhan paksa.
Boleh jadi, perkosaan itu dilakukan oleh sang pacar. Bukankah mereka sudah saling mencinta, mengapa bisa terjadi perkosaan ? Karena peristiwa tersebut sama sekali tidak dikehendaki oleh korbannya, sehingga timbullah kekerasan maupun ancaman kekerasan. Jadi, bukan tidak mungkin pelaku memperkosa pacarnya.
Kalau yang ini lain lagi. Di Bogor Jawa Barat, seorang sopir taksi online diduga memperkosa penumpangnya, seorang perawat. Awalnya pelaku mengaku itu bukan perkosaan, melainkan hubungan yang didasarkan suka sama suka. Tapi polisi tak percaya begitu saja, setelah melakukan penyelidikan dan didapatkan bukti kuat, sang sopir taksi pun ditangkap.
Baca Juga: Klarifikasi KPK Merespons Beredarnya Informasi Akan Pantau Muktamar NU di Lampung
Awalnya, kasus ini viral di media sosial, sehingga mengundang perhatian, baik dari aparat kepolisian maupun operator taksi online. Akhirnya, polisi mengusutnya hingga menemukan tersangka. Andai kasus ini tidak viral, belum tahu apakah terungkap atau tidak.
Harus diakui, pengaruh media sosial sangatlah kuat, terutama ketika terjadi aksi kejahatan atau penyimpangan yang kemudian diunggah dan direspons netizen. Jika sudah viral, polisi pasti akan turun tangan menyelidikinya. Padahal, sebenarnya, penanganan suatu kasus kejahatan tidak boleh didasarkan pada viral tidaknya kasus.
Meski tidak viral, bila kasus itu memang terjadi dan didukung bukti yang kuat, maka polisi harus memprosesnya. Namun, agaknya masyarakat sudah paham, kalau ingin cepat diproses, viralkan ke medsos. Mengapa ? Karena dengan viral, maka para petinggi kepolisian akan membacanya, kemudian akan memerintahkan anak buahnya untuk menyelidikinya.
Baca Juga: Seto Nurdiantoro Ungkap Kondisi Fisik Pemain dan Peluang Lolos PSIM
Apalagi, perkosaan bukanlah delik aduan, melainkan delik biasa yang tanpa aduan dari korban sekalipun polisi harus turun tangan menyelidiki dan bila cukup bukti, menyidiknya. Tentu bukan berarti setiap laporan ke polisi ditindaklanjuti dengan proses hukum dan ditingkatkan menjadi penyidikan, melainkan harus diteliti terlebih dulu, jangan sampai salah penanganan.
Kembali soal kasus perkosaan yang diduga dilakukan sopir taksi di Bogor, sudah biasa bila pelaku berdalih hubungan atas dasar suka sama suka. Tujuannya tak lain agar terhindar dari jeratan hukum. Karena itu, polisi mengusut berdasar alat bukti, termasuk keterangan saksi korban dan visum. Dua alat bukti ini cukup mengantarkan pelaku ke pengadilan. (Hudono)