PELAJAR di Jogja terlibat tawuran sepertinya menjadi hal biasa, karena kasusnya terus berulang. Karena itu, polisi harus mengambil langkah antisipasi agar tidak terjadi kasus serupa.
Beberapa hari lalu polisi mengamankan dua pelajar SMP di Jogja yang menganiaya temannya yang juga berstatus pelajar.
Kedua pelajar tersebut menggunakan ikat pinggang untuk menganiaya temannya hingga mengalami luka di bagian mata dan dibawa ke rumah sakit. Kasus tersebut langsung dilaporkan ke polisi dan dalam waktu singkat pelaku berhasil diamankan.
Baca Juga: Gugatan relawan PMI Kota Yogya terhadap Ketua PMI DIY Gusti Prabu tidak diterima
Menurut kedua pelaku, yakni A (15) dan E (14), mereka dendam kepada korban M (14), lantaran pernah ditantang tawuran.
Ikat pinggang nampaknya sedang tren di kalangan pelajar digunakan sebagai senjata. Biasanya dimodifikasi dengan gir untuk dijadikan senjata. Petugas sering melakukan razia terkait kepemilikan senjata dan sering didapatkan gir, batu, bahkan celurit yang biasanya disimpan di jok motor. Kalau ketahuan, mereka akan beralasan senjata tersebut untuk berjaga-jaga.
Kiranya sudah saatnya Jogja dibersihkan dari aksi-aksi kekerasan jalanan, kalau tidak menyebutnya klitih. Dalam kasus di atas, antara pelaku dan korban sudah saling mengenal, sehingga tak terlalu sulit bagi aparat untuk menangkapnya.
Hanya saja, mereka masih tergolong anak di bawah umur, sehingga polisi acap mengambil langkah diversi atau penyelesaian di luar mekanisme hukum pidana.
Langkah tersebut memang banyak diapresiasi kalangan pemerhati anak, karena dianggap lebih mendidik, ketimbang harus diproses hukum hingga ke pengadilan.
Padahal, kalau mau jujur, proses hukum terhadap anak nakal, tidak sama dengan orang dewasa. Mereka pun tidak akan dicampur dengan orang dewasa ketika harus ditahan.
Baca Juga: Bali United naik ke puncak klasemen BRI Liga 1 Indonesia usai taklukkan Madura United 3-1
Meski begitu, suara lantang pasti digulirkan para pemerhati atau LSM perlindungan anak, yakni penjara bukan tempat yang baik bagi anak-anak.
Dalam situasi demikian, polisi menjadi dilematis, kalau bertindak tegas dikira tidak pro anak, namun bila longgar membuat anak menjadi manja dan tidak jera.
Langkah paling aman adalah di tengah, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak. Kalau kenakalannya sudah kebangetan, misalnya menimbulkan luka berat pada korban, lebih baik diproses hukum sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), namun bila hanya menimbulkan luka ringan bolehlah diambil langkah diversi, musyawarah dengan titik berat perlindungan kepada korban. (Hudono)