MANUSIA adalah makhluk Allah SWT yang unik dan memiliki potensi luar biasa. Pada mulanya, ia lahir sebagai bayi yang tanpa daya, belum memiliki kemampuan (ability); baik kemampuan bersikap (attitude), pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan (skills).
Seorang bayi atau kanak-kanak memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam segala hal, baik menyangkut dirinya, orang lain, alam semesta, dan apalagi tentang Tuhannya. Kanak-kanak juga belum mampu menentukan sikap, apakah harus positif atau negatif, kritis atau nrimo terhadap hampir semua hal yang terjadi di sekitarnya.
Dalam hal keterampilan, kanak-kanak juga masih sangat terbatas, entah itu yang bersifat pertukangan (memukul, memanjat, memutar, membuka dan sebagainya) maupun kemampuan non teknis-kemanusiaan, seperti komunikasi, kepemimpinan, manajemen dan “human skill” lainnya.
Tetapi mengapa setelah beranjak remaja dan dewasa mereka dapat melakukan apa saja?
Dapat bersikap, merasakan, berpikir dan melakukan sesuatu yang diinginkannya. Dalam konteks inilah, maka proses pembelajaran dan pembiasaan menunjukkan maknanya, yaitu menjadikan seorang manusia menjadi semakin mampu, berdaya dan semakin merdeka dari segala hal di luar dirinya.
Baca Juga: Tidak Ada Ruang untuk Rasisme, Liga Premier Inggris Dukung Pemain Berlutut Jelang Tanding
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses pengembangan segenap potensi; bisa berupa bakat atau minat sehingga dapat menjadi hobi atau bahkan profesi yang dapat menjadi nilai keunggulan diri. Dengan demikian, manusia dapat keluar dari jeratan ketidakmampuan diri (sikap), pengetahuan dan keterampilan.
Pada akhirnya, orang yang demikian dapat mencukupi kebutuhan hidupnya (intelektual, material dan spiritual) secara melimpah. Praktisnya, ia dapat menghadirkan diri menjadi pribadi yang kaya; kaya hati, pengetahuan, harta, kedudukan dan sebagaianya. Inilah yang disebut mentalitas berkelimpahan.
Yaitu, pribadi yang dapat mendayagunakan dan memberdayakan dirinya menjadi semakin bermanfaat bagi diri dan lingkungan. Gagasan-gagasan cerdasnya, perilakunya dan kemampuan praktisnya dapat bermanfaat bagi orang lain atau “dijual” kepada orang lain.
Pribadi berkelimpahan seperti ini sangat dibutuhkan konstribusinya, teristimewa ketika kehidupan bangsa sedang menghadapi ujian berupa Corona sekarang ini.
Bagaimana mengaktualisasikan diri menjadi pribadi yang berkelimpahan? Ada empat pertanyaan yang dapat membantu; Pertama, bidang kegiatan apa yang sangat memikat hati; Kedua, bidang kegiatan apa yang memberikan kepuasan batin dengan sangat mendalam; Ketiga bidang kegiatan apa yang terasa sangat mudah dipalajari; dan Keempat, bidang kegiatan apa yang membuat seakan-akan dapat menyatu dengannya atau dapat mempribadi.
Baca Juga: Ada Gangguan Cuaca, Tiga Hari ke Depan DIY Diguyur Hujan
Empat pertanyaan ini harus dipandu oleh misi hidup. Karena, misi hidup inilah yang akan memberikan arah hidup seseorang. Akan berprofesi apa kita nantinya? Dan akhirnya, sejauh mana kesuksesan hidup yang dapat kita capai? Inilah yang oleh Stephen R. Covey
disebut sebagai 'kompas batin' yang hanya bisa dikembangkan melalui proses dan waktu yang panjang dan tidak bisa terbentuk secara instan.
Menurut Covey, ada tiga pertanyaan yang dapat memandu untuk mengembangkan 'kompas batin' ini, yaitu: 1) apakah yang ingin dimiliki 2) bila telah memilikinya, apa yang ingin dilakukan (dalam hidup ini), dan 3) akan menjadi manusia macam apakah kita kelak (to be) ?
Dengan demikian, orang yang mampu secara spiritual, intelektual dan material, perlu proses pembelajaran secara sungguh-sungguh, reguler, berkelanjutan dan sinergis. Tidak ada kesuksesan hidup yang dicapai secara instan.