SEORANG pelajar SMP dikeroyok hingga tewas di sebuah angkringan kawasan Sinduadi, Mlati, Sleman. Sedang seorang temannya, juga masih ABG, mengalami luka-luka akibar dikeroyok rombongan pemuda, diduga warga sekitar TKP.
Peristiwa itu terjadi pada Senin dini hari pekan lalu. Korban tewas MTP (18), asal Condongcatur Sleman, sedang yang luka RS (16) asal Mlati Sleman.
Lagi-lagi, begitu mudahnya nyawa melayang, hanya gara-gara masalah sepele. Awalnya, korban diminta para pengeroyok untuk membubarkan diri dari nongkrong di angkringan, karena sudah larut malam.
Baca Juga: UOB Painting of the Year Menjadi Wadah Strategis Seniman Indonesia Merayakan Bakat
Namun, agaknya peringatan tersebut tidak diindahkan, sehingga pelaku marah dan mengeroyok korban dan temannya. MTP mengalami luka parah hingga menemui ajal, sedang temannya, RS, mengalami luka dan harus dirawat di rumah sakit.
Polisi berhasil menangkap para pelaku, semuanya orang dewasa dan sebagian warga sekitar. Aksi para pelaku yang mengeroyok pelajar SMP ini sudah sangat kelewatan dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka tak bisa berdalih hanya memberi pelajaran kepada korban. Memberi pelajaran tentu tidak dengan cara membunuh.
Pelaku seharusnya sudah mengira bahwa tindakannya bakal menyebabkan nyawa melayang. Mereka tak bisa mengelak bahwa tindakannya bersifat spontan. Mengapa ?
Baca Juga: Rumor masa depan Thom Haye setelah tinggalkan Almere City, antara Rumor Persija dan Klub Eropa lain
Karena sebelumnya sudah ada interaksi antara pelaku dengan korban, meski mungkin mereka tidak saling mengenal. Hilangnya nyawa tak bisa digantikan dengan apapun, sehingga sudah tepat bila lima pengeroyok harus diproses hukum hingga pengadilan.
Tindakan para pengeroyok benar-benar sudah di luar batas kemanusiaan. Mereka bukan hanya menganiaya korbannya, melainkan juga membuatnya tidak bernyawa. Jadi hukuman apa yang pantas dikenakan kepada mereka ? Pelaku dijerat dengan pasal berlapis, baik dengan KUHP khususnya Pasal 170 dengan ancaman pidana penjara 12 tahun maupun UU Perlindungan Anak.
Perbuatan nongkrong di angkringan hingga larut malam, memang tidak pantas dilakukan pelajar. Wajar bila warga setempat memperingatkannya. Namun, bukan berarti mereka punya hak untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Cara memperlakukan anak yang ngeyel nongkrong, tentu bukan dengan cara menganiaya, bahkan membuat nyawa melayang. Ada cara lain yang lebih mendidik.
Baca Juga: Arab Saudi bakal umumkan kuota haji 2026 pada 10 Juli 2025, ini penjelasan Kemenag
Apalagi, mereka masih tergolong anak, yang tentu tak berani melawan warga setempat yang jumlahnya banyak. Artinya, secara jumlah, korban jelas sangat lemah dan tak mungkin melakukan perlawanan. Sementara para pelaku bertindak sewenang-wenang dengan menghabisi pelajar tersebut. Kini mereka harus mempertanggungjawabkannya. (Hudono)