SEORANG ABG, sebut saja Bunga (15) warga Patuk Gunungkidul menjadi korban pencabulan ayah tirinya. Perbuatan bejat sang ayah tiri dilakukan saat ibu Bunga sedang tidak berada di rumah.
Bunga tak kuasa melawan ayah tirinya karena diancam dengan kekerasan. Paling tidak, perbuatan sang ayah tiri sudah dilakukan sebanyak tiga kali.
Awalnya Bunga tidak berani menceritakan peristiwa pencabulan itu kepada ibunya, namun lama-kelamaan ia tak tahan dan menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada sang ibu.
Baca Juga: Mahasiswa Unej Ditemukan Tewas Setelah Terjatuh dari Lantai 8 Gedung Kampus
Dari situlah ibu Bunga melapor ke polisi dan ditindaklanjuti dengan penangkapan tersangka. Ayah tiri Bunga kini telah ditahan di kepolisian setempat.
Orang sering menyebut peristiwa di atas dengan ungkapan pagar makan tanaman. Ayah tiri mestinya melindungi Bunga, namun yang terjadi malah sebaliknya mencelakai dan merusak masa depannya. Ayah tiri Bunga, inisial KA, tak bisa menjadi pelindung rumah tangga, sebaliknya menjadi perusak rumah tangga.
Dengan kejadian tersebut, dampaknya menjadi sangat serius. Hampir dipastikan keluarga mereka bakal pecah dan berujung perceraian. Sebab, rasanya tidak mungkin ibu Bunga akan menerima KA di keluarganya. Jika itu dilakukan, dikhawatirkan KA akan mengulangi perbuatannya. Kasus pencabulan ini harus diselesaikan lewat pengadilan, tak bisa lewat musyawarah kekeluargaan, apalagi bukan delik aduan.
Baca Juga: Sambut Liburan Nataru, Indosat Tingkatkan Kapasitas Jaringan di Jogja
KA bakal terancam hukuman lima belas tahun penjara, belum lagi bila hakim menjatuhkan pidana tambahan, misalnya kebiri kimiawi.
Hal yang disebut terakhir ini memang jarang dilakukan, namun bisa diterapkan terhadap predator anak. Tujuannya jelas, agar yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya.
Masalah lain yang muncul kemudian, bila KA menjadi tulang punggung keluarga, niscaya akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi keluarga Bunga. Ibu Bunga akan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Hal inilah yang selama ini tak dapat diantisipasi hukum. Hukum, baik KUHP maupun UU Perlindungan Anak, lebih banyak berorientasi pada tindakan penghukuman, sementara tindakan rehabilitasi masih minimalis.
Baca Juga: Selesai Tera Ulang, Pemkab Sleman Pastikan SPBU Siap Layani Masyarakat Selama Nataru
Akibatnya, korban dalam posisi yang memilukan. Ibaratnya, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Belum lagi, kalau ada gunjingan dari tetangga korban, akan menambah penderitaan, seperti halnya hukuman sosial. Kiranya inilah yang perlu dipikirkan para pengambil kebijakan, yakni bagaimana memulihkan kondisi korban dan keluarganya agar dapat hidup layak. (Hudono)