DUA aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidayanti bisa bernapas lega menyusul putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang membebaskan mereka dari ancaman pidana atas dakwaan pencemaran nama baik Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa hari lalu. Majelis hakim menyatakan keduanya tidak terbukti bersalah seperti dakwaan jaksa.
Tentu ini menjadi angin segar bagi kebebasan berpendapat yang selama ini mendapat jaminan konstitusi. Apa yang disampaikan Haris Azhar dan Fatia bukanlah masuk kategori pencemaran nama baik terhadap Luhut. Keduanya juga tidak dapat dijerat dengan pasal tentang penyebaran kabar bohong.
Kasus ini bermula ketika keduanya dituduh menyebarkan kabar bohong terkait keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dalam bisnis tambang di Intan Jaya lewat podcast di Youtube yang berjudul ‘Ada Lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya ! Jenderal BIN Juga Ada !
Dengan bebasnya dua aktivis HAM tersebut apakah berarti apa yang mereka sampaikan benar ? Majelis hakim tak mengadili hal itu. Yang jelas, berdasar pertimbangannya, majelis hakim menyimpulkan tak ada unsur pencemaran nama baik maupun penyebaran kabar bohong.
Tentu ini angin segar bagi iklim demokrasi di Indonesia. Apakah hal ini terkait dengan situasi politik saat ini ? Sulit untuk menyimpulkan. Yang jelas, penegakan hukum tak bisa dilepaskan dengan rezim yang berkuasa, meski secara teoritis kekuasaan kehakiman harus merdeka dari campur tangan pihak manapun.
Terlepas dari perdebatan itu, setidaknya, putusan bebas terhadap Haris Azhar dan Fatia bisa menjadi preseden dan yurisprudensi bagi hakim dalam mengambil keputusan. Sistem hukum Indonesia memang tidak menganut yurisprudensi. Namun, paling tidak bisa menjadi sumber hukum sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Baca Juga: Disdikbud Sukoharjo lakukan pendataan aset daerah dengan sasaran sekolah mangkrak atau sudah tutup
Dampak positifnya, masyarakat tak lagi takut untuk mengritik penguasa demi perbaikan dalam bernegara. Mengritik tentu berbeda dengan menghina atau mencemarkan nama baik.
Sebab, dalam kasus pencemaran nama baik, yang diserang adalah kehormatan personalnya, bukan kebijakannya. Nampaknya dalam konteks seperti itulah Haris dan Fatia terbebas dari jeratan pencemaran nama baik dan penyebaran kabar bohong.
Kalau datanya keliru, pihak yang merasa diserang mestinya memberi klarifikasi dan menunjukkan data yang menurutnya benar. Cara tersebut tentu lebih fair ketimbang menghabiskan energi menuntut di pengadilan. (Hudono)