PEMERINTAH dan DPR akhirnya sepakat memberi persetujuan bersama atas RUU Kesehatan menjadi UU.
Padahal, protes dan demo begitu keras mengalir, antara lain dari lima lembaga profesi kesehatan, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (IPNI). Di samping itu, protes juga datang dari kalangan akademisi, antara lain UI dan UGM.
Mereka tidak sepakat dengan disahkannya UU Kesehatan, bukan saja lantaran isinya yang tidak akomodatif, melainkan juga karena tidak melibatkan partisipasi kalangan medis. Bayangkan, lima organisasi profesi kesehatan seperti IDI yang notabene sangat kuat organisasinya saja menolak, lantas siapa yang didengar oleh pemerintah dan DPR dalam memutuskan pengesahan UU Kesehatan ?
Baca Juga: Tarif Tiket LRT Jabodebek Rute Terjauh Sekitar Rp 25 Ribu
Ini memang fenomena aneh, mengapa baik pemerintah dan DPR tidak mengakomodasi aspirasi lima organisasi profesi kesehatan, padahal mereka merupakan representasi dari seluruh tenaga kesehatan di Indonesia. Lagi pula, mengapa RUU Kesehatan buru-buru disahkan, atau tak lebih dari satu tahun penyusunannya ? wajar bila ini mengundang pertanyaan besar. Apalagi UU tersebut sangat penting artinya bagi tenaga medis, pasien, maupun masyarakat pada umumnya.
Selain tidak aspiratif, pembentukan UU tersebut juga tidak didahului dengan penyusunan naskah akademik yang memadai dan buru-buru disahkan. Lantas UU Kesehatan Omnibus Law itu sesungguhnya untuk kepentingan siapa ? Entahlah, pembentuk undang-undanglah yang paling tahu. Jangan salahkan bila masyarakat curiga lantaran pembentukan UU Kesehatan Omnibus Law penuh dengan ketidakberesan dan rawan memunculkan persoalan serius.
Sekadar contoh kecil, longgarnya aturan dokter asing masuk dan berpraktik di Indonesia, akan menimbulkan persoalan serius relasi dokter dan pasien. Mengapa ? Karena tidak ada persyaratan bahwa dokter asing yang berpraktik di Indonesia harus bisa berbahasa Indonesia. Bisa dibayangkan ketika pasien menghadapi dokter asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia, lantas bagaimana cara menerangkan resepnya ?
Baca Juga: Insiden SEA Games 2023, Tiga Pemain Timnas Indonesia Kena Sanksi dan Denda dari AFC
Belum lagi, kehadiran dokter asing di Indonesia akan mengancam keberadaan dokter lokal, padahal mereka dokter-dokter yang profesional karena telah melalui prosedur seleksi dan registrasi yang sangat ketat. Sementara dokter asing justru diberi kemudahan dan keleluasaan untuk berpraktik di Indonesia.
Tak hanya itu, keberadaan organisasi profesi seperti IDI juga terancam dihapus, padahal peran mereka sangat strategis dalam pengawasan, pembinaan dan penerbitan regisrasi praktik dokter di Indonesia. (Hudono)