BELUM selesai urusan beras oplosan dan subsidi, muncul lagi masalah pupuk. Kali ini aparat disibukkan dengan peredaran pupuk palsu.
Menteri Pertanian Andi Amran Skasulaiman menyebut, akibat peredaran pupuk palsu, secara nasional petani dirugikan hingga Rp 3,2 triliun, angka yang sangat fantastis. Dalam kasus ini, polisi menurut Amran telah menetapkan tersangkanya. Berbeda dengan kasus beras oplosan yang belum ada tersangkanya.
Sayangnya, dalam kasus pupuk palsu, Amran tidak menyebut siapa tersangkanya. Polisi sendiri tidak mengumumkan siapa yang dijadikan tersangka.
Baca Juga: Dugaan Kasus Korupsi Pengadaan Fiktif Kakao, Kejati Jateng Tahan Direktur Pengembangan Usaha UGM
Padahal, guna mewujudkan transparansi dalam penanganan suatu perkara, sangatlah penting untuk mengumumkan tersangka, bukan hanya kerugian negaranya saja. Mengapa polisi tak mengumumkan tersangka ? Mudah-mudahan ini hanya sekadar masalah waktu, bukan yang lain.
Dalam kasus beras maupun pupuk, konsumen dan petani jelas sangat dirugikan. Pada kasus beras oplosan, masyarakat tidak memperoleh beras sesuai dengan keterangan yang tercantum dalam kemasannya.
Misalnya tertulis premium, namun isinya kualitas rendah, padahal harganya premium. Sedang dalam kasus pupuk, bahkan ada yang sama sekali tidak mengandung unsur hara, sehingga ketika ditaburkan pada tanaman tak berpengaruh apa-apa.
Lantas, siapa yang bermain di kasus beras dan pupuk ? Apakah orangnya sama ? Masih belum jelas, karena aparat penegak hukum belum mengumumkan tersangka. Berkaitan kasus tersebut, masyarakat berhak mengawal agar penanganan kasus on the track atau sesuai jalur. Jangan sampai penanganan kasus korupsi mengandung korupsi. Saat ini kasus beras ditangani oleh Kajaksaan Agung, sedang kasus pupuk ditangani aparat kepolisian.
Sepanjang mereka bekerja secara profesional tentu tidak ada masalah, sah saja berlomba dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, bila penanganannya tidak profesional, tebang pilih, ini yang harus diluruskan.
Bila ada indikasi korupsi dalam penanganan perkara pidana, KPK dapat mengambil alih kasus dan ini dibenarkan undang-undang. Memang tidak semua kasus korupsi harus ditangani KPK. KPK, sesuai kewenangannya bisa saja hanya melakukan supervisi agar kasus ditangani profesional.
Baca Juga: Kasus Bupati Pati Picu Kemarahan Massa, Istana Ingatkan Pejabat Publik Jangan Arogan
Kita sangat prihatin dengan kondisi negara ini yang tak juga membaik, korupsi ada di mana-mana. Bahkan, hukuman tidak membuat mereka (pelaku) jera. Lantas, apa yang mesti dilakukan ? Kiranya harus mulai dipertimbangkan untuk menerapkan hukuman berupa memiskinkan koruptor. Kalau penjara tidak membuat mereka takut, maka kehilangan harta akan menjadi ancaman yang menakutkan. (Hudono)