UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sering disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia. Mengapa ?
Karena undang-undang ini murni bikinan bangsa Indonesia, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang notabene warisan penjajah Hindia Belanda, meski belakangan telah direvisi, disesuaikan dengan iklim Indonesia.
Kini KUHAP dipandang sudah tidak mampu menyesuaikan perkembangan zaman, sehingga harus direvisi atau diperbarui. Komisi III DPR RI pun telah membahas revisi KUHAP bersama pemerintah, dan ditargetkan September 2025 pembahasan sudah selesai.
Baca Juga: Lindungi kulit Anda dari cahaya biru yang dihasilkan gadget, begini caranya
Namun, dalam prosesnya, pembahasan revisi KUHAP dinilai tidak partisipatif, terkesan tertutup dan tidak mengakomodasi aspirasi publik. Benarkah ?
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman langsung menjawab tudingan tersebut. Ia malah mempersilakan masyarakat untuk tidur di gedung DPR RI guna mengawal pembahasan RUU KUHAP.
Sebab, semua pembahasan digelar di gedung DPR, tidak di tempat lain, sehingga dapat terpantau dengan mudah. Namun, tentu persoalannya bukan sekadar masyarakat boleh tidur di gedung DPR RI, melainkan sejauh mana DPR, khususunya Komisi III mengakomodasi aspirasi masyarakat.
Baca Juga: IM3 Platinum Hadirkan Pengalaman Digital Next Level dengan iPhone 16 di Yogyakarta dan Surabaya
Mengharapkan UU yang sempurna dan ideal tentu tidak mungkin, apalagi tidak setiap orang sama pikirannya. Meski begitu, paling tidak ada standar minimal yang diakui secara universal tentang prinsip-prinsip penegakan HAM yang hendak dimasukkan dalam KUHAP yang baru. Yang patut dijaga, jangan sampai masuk pasal selundupan yang justru merugikan bagi pencari keadilan.
Sekadar menyebut contoh, sebelumnya Pemerintah mengusulkan pasal tentang Mahkamah Agung yang tidak boleh memutus perkara lebih berat dibanding putusan pengadilan sebelumnya. Ada apa ini, mengapa MA tak boleh memutus lebih berat ketimbang putusan pengadilan di bawahnya ?
Setelah ramai diperdebatkan putusan tersebut akhirnya dibatakan. Artinya, MA tetap berwenang memutus perkara berdasar keyakinannya, entah itu lebih berat atau lebih ringan dibanding putusan pengadilan terdahulu.
Baca Juga: Pemprov Jawa Barat Bantah Data Jutaan Warga Bocor
Ada lagi terkait dengan pemeriksaan pendahuluan yang dapat berpengaruh terhadap kewenangan KPK. Yakni, sebelum penegak hukum menetapkan seorang tersangka, terlebih dulu harus melalui hakim pemeriksaan pendahuluan, guna menilai apakah pemeriksaan, penyidikan sah atau tidak.
Ini mirip dengan lembaga praperadilan. Jika hal ini diterapkan tentu akan menghambat kinerja KPK. Lebih parah lagi membuka peluang kasus korupsi kelas kakap hilang. Padahal KPK dibentuk justru untuk mengatasi kelemahan Polri dan Kejaksaan dalam hal penyidikan kasus korupsi. (Hudono)