KASUS perundungan yang menimpa siswa kelas VII SMPN 1 Playen, JO, akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak orangtua pelaku dan orangtua korban sepakat berdamai, sehingga persoalan tidak dibawa ke ranah hukum. Langkah tersebut diapresiasi Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati MM dan berharap kasus seperti itu tidak terulang lagi.
Penyelesaian secara kekeluargaan ini memang terkesan baik-baik saja. Padahal, kalau mau jujur, dampak yang ditimbulkan akibat perundungan terhadap JO sangat serius. JO masih mengalami sakit dan trauma sehingga proses belajarnya terganggu. Apakah hal ini juga mendapat perhatian pihak sekolah ?
Kasus dianggap selesai namun masih menimbulkan luka bagi korban, rasanya memang kurang adil. Sebaliknya, kasus ini justru bisa berulang. Mengapa ? Kalau setiap perundungan diselesaikan dengan cara kekeluargaan, justru tidak ada efek jera, sehingga berpotensi terulang. Berbeda bila kasusnya dibawa ke ranah hukum dan mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), diyakini pelaku akan jera.
Hukum dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada pelaku, sehingga tidak mengulangi perbuatannya.
Sedang cara mediasi kekeluargaan memang tidak dilarang sepanjang kekerasan yang menimpa korban tidak berkategori berat. Bila menimbulkan luka berat, apalagi permanen, polisi harus tegas memproses hukum pelaku anak. Bukankah SPPA memang dikhususkan bagi anak yang bermasalah dengan hukum ?
Berkaitan kasus di Gunungkidul, sebenarnya bermula dari masalah sepele, korban dituduh mencuri makanan di kantin seharga Rp 2 ribu. Versi korban, ia hendak mengambil uang di tas untuk membayar makanan tersebut, namun keburu dituduh mencuri dan dihajar kakak-kakak kelasnya. Sang ibu telah membawa JO ke rumah sakit dan mendapatkan visum. Visum inilah sesungguhnya yang bisa menjadi bukti terjadinya kekerasan terhadap korban.
Meski kasus tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan, bukan berarti tidak bisa dibuka lagi. Jika korban tak juga sembuh, atau bahkan kondisinya lebih parah, proses hukum masih tetap bisa dilanjutkan. Kasus ini memang menjadi pelajaran berharga bagi pihak sekolah.
Apalagi sekolah telah membentuk Satgas antikekerasan. Tugas Satgas bukanlah melindungi para perundung, tapi justru melindungi korban, ini yang harus dicamkan. Bila Satgas melindungi perundung, maka justru Satgas itu yang bakal berhadapan dengan hukum. (Hudono)
| BalasTeruskan Tambahkan reaksi |