DUNIA pendidikan, khususnya perguruan tinggi, heboh menyusul peristiwa bunuh diri yang dialami seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Yogya, SM (18) asal Bandar Lampung. SM meloncat dari lantai IV asrama yang ia tempati. Ketika dibawa ke rumah sakit, yang bersangkutan dalam kondisi sudah meninggal.
Selama ini ada anggapan pelaku bunuh diri umumnya sudah berusia lanjut, sakit-sakitan dan miskin.
Kasus terbanyak terjadi di Gunungkidul. Hampir setiap tahun dipastikan ada peristiwa bunuh diri, bahkan dalam sebulan bisa dua kali. Umumnya akar persoalannya adalah ekonomi. Selebihnya, putus cinta, bagi kalangan remaja, meski persentasenya lebih sedikit.
Baca Juga: Delapan fungsi keluarga dalam mendidik anak
Banyak yang kaget mengapa SM nekat bunuh diri. Sebelumnya sudah terdeteksi bahwa yang bersangkutan mengalami depresi. Bahkan sebelum nekat loncat dari lantai IV asrama, SM mencoba bunuh diri dengan menelan dua puluh pil obat pusing, namun nyawanya terselamatkan. Berikutnya, ia sempat berujar bila loncat dari lantai IV apakah bisa mati, dan hal itu direalisasikannya.
Pertanyaannya, apakah selama ini SM tak pernah mendapat pendampingan dari kampusnya ? Berdasar keterangan, yang bersangkutan sebenarnya telah mendapat pendampingan dari kampus terkait dengan kondisi depresinya.
Artinya, kondisi depresi yang dialami SM sudah terpantau kampus. Namun entahlah, mungkin luput dari pemantauan, SM mengambil jalan pintas bunuh diri dengan cara meloncat dari lantai IV asrama.
Baca Juga: Mengenal gerakan 'jimpitan' inisiasi dari Wali Kota Magelang untuk entaskan kemiskinan
Nampaknya ia melakukannya bukan karena faktor ekonomi, tapi faktor lain. Apalagi saat ini kampus tempatnya menimba ilmu, banyak mengakomodasi mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, antara lain dengan memberi keringanan pembayaran SPP dan sebagainya. Lantas, karena faktor apa ia bunuh diri ?
Meski kasus ini dihentikan demi hukum, lantaran tidak ada tanda-tanda penganiayaan, polisi tetap perlu mencari motif mengapa yang bersangkutan bunuh diri. Kalaupun SM mengalami depresi, apa penyebabnya ?
Kasus di atas menggambarkan betapa orang yang punya kapasitas intelektual pun bisa berbuat nekat, membunuh diri sendiri. Dari peristiwa tersebut, kiranya perguruan tinggi perlu lebih intens memantau mahasiswanya.
Baca Juga: OJK denda BCA sebesar Rp100 juta, ini pelanggaran yang dilakukan
Mereka yang mengalami masalah harus mendapat pendampingan sedini mungkin agar tidak berbuat nekat. Lebih dari itu, matakuliah agama yang lebih banyak mengajarkan budi pekerti hendaknya lebih diintensifkan, bukan hanya pada teori tapi juga praktik sehari-hari. Dengan cara itulah diharapkan mampu meminimalisasi perilaku nekat, bunuh diri dan sebagainya. (Hudono)