“Ra onok deso maneh nang kene (tidak ada desa lain di sini),” kata Bima, dan Wahyu tidak terima.
“Eroh tekan ndi awakmu (tahu dari mana kamu),” Wahyu ketus.
“Aku wes sering nang kota Yu,” jawab Bima.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 7: Widya atau Nur? Benar-benar Malam yang Sungguh Gila
“Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi sering melu nang kota mabek wong kene (Prokerku ada hubungannya dengan program hasil alam, jadi sering ikut ke kota bersama warga sini),”
Bima melanjutkan penjelasannya.
“Sampe sak iki, aku rong eroh onok deso maneh nang kene (sampai sekarang aku tidak pernah lihat desa lain di dekat sini),”
“Ngomong opo, mbujuk (bicara apa, menipu),” Wahyu masih tidak terima.
“Mas,” Nur ikut menjelaskan, “Pancen ra onok deso maneh nang kene, kan wis tau dibahas (memang tidak ada desa lain di sekitar sini, kan sudah pernah dibahas),”
“Koen kabeh nek ra percoyo, tak dudui bukti, nek aku ketemu wong deso liane (Kalian semua kalau tidak percaya, ku tunjukan bukti bahwa aku bertemu orang desa lain),” jawab Wahyu.
Widya yang sedari tadi diam, tiba-tiba ditarik oleh Wahyu.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 8: Dijamu Kopi Demit, Begini Reaksi Widya
“Takono ambek Widya nek ra percoyo (tanya sama Widya kalau tidak percaya),”
Widya hanya diam, sementara yang lain penasaran menunggu jawabannya.
Pikiran Widya justru melayang, bingung memikirkan tentang kopi yang suguhan di hajatan dalam hutan.
