Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 8: Dijamu Kopi Demit, Begini Reaksi Widya
Sebuah pesta di tanah lapang tepi jalan setapak, seperti sebuah perkampungan, lengkap dengan orang, panggung, dan suara gamelan yang kencang.
Wahyu dan Widya terdiam, memastikan bahwa yang mereka lihat itu adalah manusia, sampai tiba-tiba.
“Nopo le (ada apa nak),” suara halus, bahkan sangat halus “Sepedae mblodok (motornya mogok),”
Suara itu mengagetkan keduanya karena tiba-tiba orang tua bungkuk sudah ada di samping mereka.
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, lalu orang tua itu memanggil anak-anak yang lebih muda untuk membantu.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 7: Widya atau Nur? Benar-benar Malam yang Sungguh Gila
Sepeda motor dituntun menepi jalan, dan Wahyu serta Widya dipersiakan istirahat sebentar menunggu sepeda itu diperbaiki para pemuda yang sama sekali tidak pernah mereka temui sebelumnya.
Suasana malam itu hiruk pikuk, semua orang sibuk dengan urusannya sendiri, ada yang bercanda, ngobrol, dan tentu menikmati alunan gamelan dan si pengantin di atas panggung.
“Aku ra erok nek onok kampung nang kene? (Aku tidak pernah tahu kalau ada kampung di sini),” kata Wahyu.
Widya diam saja, matanya fokus ke arah panggung, panggung yang letaaknya jauh itu.
Ada ruang lebar di depan panggung dan Widya penasaran, entah acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 4: Nisan Aneh, Sesajen dan Ini yang Paling Menakutkan
Penasaran yang langsung bakal terjawab seiring menyeruaknya aroma melati, aroma yang amat sangat Widya kenal.
Di hadapan Widya, seorang penari berjalan dituntun serombongan orang untuk naik ke atas panggung.