Motor itu mogok tepat setelah Wahyu bercanda.
Widya diam seribu bahasa, memikirkan kebodohan yang dilakukan Wahyu, sebab ia paham benar bahwa tidak boleh memikirkan hal buruk dalam kondisi yang buruk, karena doa bisa dikabulkan sewaktu-waktu.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 10: Bahaya, Apa Benar Widya Sedang Diincar Demit?
“Mlaku o disek, ben aku isok nyawang awakmu (Jalanlan dahulu, biar aku bisa melihatmu),” pinta Wahyu.
Sebenarnya Wahyu sudah tidak tahan lagi setelah beberapa kali mendengar kata “Goblok” dari mulut Widya.
Usaha menghidupkan motor sama sekali tidak berhasil, dan entah berapa lama mereka berjalan, tidak satupun pemotor melintas yang dapat dimintai bantuan.
Widya berjalan di depan tanpa menoleh kepada Wahyu, sampai langkahnya terhenti. Widya merasakan sesuatu.
“Nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener parah awakmu gak isok ndelok sikonku nyurung montor ket mau (Kalau sampai kamu kesurupan, benar-benar keterlaluan tidak bisa melihat kondisiku yang sejak tadi mendorong motor),” kata Wahyu.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 9: Sebagian Rahasia Wahyu Tentang Bima, Oh Ternyata...
Widya menatap Wahyu. “Yu krungi ora? Suara mantenan (Yu dengar tidak? Suara hajatan),”
Wahyu tidak membantah karena ia pun mendengarnya dan suara itu tidak jauh dari tempat mereka.
“Wid eleng gak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae (Wid ingat tidak, kata penjual cilok, kalau ada apa-apa, lanjut terus),”
Widya pun melanjutkan perjalanan, namun semakin jauh melangkah, semakin keras suara hajatan itu.
Tidak hanya lantunan gamelan, suara tawa bahagia orang yang sedang melangsungkan hajatan itu juga terdengar.
Terus berjalan, hingga akhirnya Widya dan Wahyu melihat janur kuning melengkung pun terlihat tepi jalan yang mereka lalui.