Dua dosen UMY ini tawarkan alternatif penyelesaian perkara hukum saat orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar, ini tawarannya

photo author
- Senin, 19 Februari 2024 | 11:30 WIB
Rangkaian kegiatan pengukuhan Guru Besar UMY, Prof Fadia dan Prof Yeni, ada foto bersama dengan sejumlah pimpinan UMY dan tamu undangan.  (Dok. UMY)
Rangkaian kegiatan pengukuhan Guru Besar UMY, Prof Fadia dan Prof Yeni, ada foto bersama dengan sejumlah pimpinan UMY dan tamu undangan. (Dok. UMY)

HARIAN MERAPI – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali menambah Guru Besar dan pengukuhannya dilaksanakan di komplek kampus setempat, akhir pekan lalu.

Dua dosen yang dikukuhkan sebagai Guru Besar tersebut dari Fakultas Hukum UMY, yaitu Prof. Dr. Fadia Fitriyanti, S.H., M.Hum., M.Kn. dan Prof. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.

Prof Fadia dan Prof Yeni sebagai perempuan Guru Besar UMY saat orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar antara lain menjelaskan seputar mekanisme penyelesaian perkara hukum menggunakan pendekatan yang lebih modern dan merata.

Baca Juga: PKB klaim dapat tambahan 23 kursi DPR RI, ini sebarannya....

Dalam orasi ilmiahnya, Prof Fadia sebagai Guru Besar di Bidang Hukum Bisnis meyakini, penyelesaian perkara maupun sengketa menggunakan Online Dispute Resolution (ODR) yang berbasis kecerdasan buatan merupakan mekanisme yang paling efisien.

“Yakni paling efisien dari metode Alternatif Penyelesaian Sengketa atau biasa disingkat APS. Selain itu kecerdasan buatan dapat membantu menganalisa dokumen penelitian dan penyusunan standar, bahkan hingga menyarankan solusi penyelesaian sengketa,” paparnya.

Menurutnya, penggunaan kecerdasan buatan sebagai APS dapat diterapkan di Indonesia dalam tahap negosiasi dan mediasi.

Namun dari sisi hukum, masih harus ditinjau kembali apakah akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

Baca Juga: Milisi Jokowi berharap presiden baru lanjutkan program Presiden Joko Widodo

Ia juga mengatakan, penyelesaian sengketa menggunakan ODR akan lebih efektif jika dibandingkan dengan melalui proses litigasi yang lebih mahal dan kurang responsif.

Proses litigasi juga rentan menyebabkan permusuhan antar kedua belah pihak jika dibandingkan dengan proses ODR yang saling menguntungkan, dijamin kerahasiaannya dan dapat menyelesaikan sengketa dengan kooperatif.

“Dalam penerapannya, ODR masih harus menghadapi beberapa tantangan termasuk dalam hal teknis mengingat Indonesia adalah negara kepulauan,” tegasnya.

Baca Juga: Ketua Umum PSSI Erick Thohir akui kelola sepak bola butuh biaya besar, tapi.....

Selain itu, sebut Prof Fadia, Indonesia dengan lanskap geografis yang luas, sehingga akan lebih sulit dalam menjangkau persebaran teknologi dan informasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Husein Effendi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X