HARIAN MERAPI - Berbicara publik berarti berbicara warga negara. Setiap warga negara pun boleh melakukan diplomasi.
Artinya pula, setiap warga negara berpotensi menjadi pelaku dalam diplomasi. Namun, perlu dipahami bahwa tak semua warga negara memiliki keterlibatan dalam isu-isu diplomasi.
Hanya warga negara yang memiliki kepentingan dengan negara yang relevan dalam konteks diplomasi. Oleh karena itu, urusan diplomasi publik harus dibedakan dengan private.
Baca Juga: Menhan Prabowo Resmikan Ruang Makan Husein Taruna Akmil Magelang
Demikian dipaparkan Prof Tulus Warsito MSi ketika sambutan usai ia menerima penghargaan purnabakti sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (9/11/2023).
Adapun rangkaian acara penghargaan purnabakti bertajuk, “Terus Berbakti di Sweet Seventy” digelar di kompleks Gedung AR Fakhruddin B, UMY.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Tulus Warsito, Guru Besar UMY bidang Politik Internasional dan Diplomasi Kebudayaan memaparkan pula seputar kritiknya terhadap definisi diplomasi publik.
Dicontohkan Prof Tulus, ketika ada seorang pemain sepakbola asing menikahi warga lokal, maka kelokalannya tersebut tak ada urusannya dengan pemerintah.
Baca Juga: Oknum PLH Dishub DKI Jakarta Dipecat Gara-gara Terlibat Percobaan Pembunuhan Polisi di Tangerang
“Itu bukan bagian dari diplomasi publik. Dengan kata lain, marilah kita merevisi apa yang disebut sebagai publik, itu harus kita bedakan dengan private,” terangnya.
Dengan demikian, lanjut Prof Tulus, diplomasi memiliki kelasnya sendiri yang mengakibatkan jaringan warga negara akan terklasifikasi kepada satu isu jaringan maupun perdebatan.
Ia pun menekankan, bahwa tak semua warga negara yang berada di luar negeri dapat menjadi mitra dalam diplomasi. Namun, jika ada individu yang memiliki relevansi dalam isu-isu tertentu, maka mereka dapat memainkan peran penting dalam diplomasi.
“Jadi, tak semua orang yang berada di luar negeri bisa jadi kawan kita untuk berdiplomasi. Sebaliknya, meski jauh tapi kalau ada orang yang sedemikian rupa berkaitan dalam isu-isu tertentu, maka kita akan berdekatan dengan dia,” urainya.
Baca Juga: Sultan Lantik Dirut PT AMI yang Baru, Bus Trans Jogja Targetkan Peningkatan Keterisian Penumpang
Profesor pertama UMY tersebut menambahkan, penting pula untuk dapat memahami perbedaan antara warga negara dan warga negara diaspora. Pasalnya, tak semua orang Indonesia yang ada di mana-mana (di berbagai negara) bisa menjadi diplomat, melainkan tergantung dari dua hal.