KULON PROGO, harianmerapi.com - Kundha Kebudayan Kulon Progo meluncurkan tiga buku baru tentang sejarah lokal Kulon Progo, Selasa (7/12/2021). Selain meningkatkan minat baca masyarakat, peluncuran tiga buku ini juga bertujuan untuk mewariskan pengetahuan tentang sejarah lokal Kulon Progo kepada generasi muda.
Kepala Bidang Bahasa Sastra Sejarah dan Permuseuman Kundha Kabudayan Kulon Progo, Budi menyampaikan, peluncuran buku merupakan kegiatan rutin yang digelarnya setiap tahun. Kali ini, tiga buku tentang sejarah lokal Kulon Progo yang diluncurkan berjudul 'Puncak Menoreh', 'Sejarah 12 Kapanewon di Kulon Progo' dan 'Pahlawan Kawijo'. Penyusunan buku tersebut dibiayai dana keistimewaan (danais) DIY.
"Tujuannya untuk publikasi serta mengembangkan dan meningkatkan budaya literasi di Kulon Progo. Buku-buku ini mendukung sejarah lokal Kulon Progo yang terdiri dari 12 kapanewon, 87 kalurahan dan 1 kelurahan," kata Budi usai acara peluncuran buku yang digelar di Hotel Kings Wates.
Baca Juga: Begini Upaya PKBI Kulon Progo untuk Menekan Kasus Pernikahan Dini
Peluncuran buku tentang sejarah lokal Kulon Progo, lanjut Budi, diharapkan bisa mewariskan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat terutama generasi muda agar mengetahui beragam kisah di daerahnya secara mendalam.
Di sisi lain, buku tentang ikon Kulon Progo yang sudah terkenal seperti Puncak Menoreh, diharapkan bisa mendukung destinasi wisata di Kulon Progo sehingga dapat memperkuat alasan wisatawan untuk berkunjung ke sana.
"Dalam menemukan narasumber, kami bekerjasama dengan komunitas penggiat sejarah Kulon Progo. Namun memang harus berpacu dengan waktu karena mayoritas narasumber terutama yang menjadi kunci sejarah sudah berusia lanjut," jelasnya.
Dalam peluncuran, Kundha Kabudayan Kulon Progo mencetak tiga buku sejarah lokal Kulon Progo masing-masing sebanyak 150 hingga 200 eksemplar. Buku-buku tersebut kemudian didistribusikan ke OPD-OPD, kapanewon se-Kulon Progo serta berbagai perpustakaan di daerah ini. Dinas bahkan siap mendistribusikan buku-buku tersebut ke sekolah-sekolah manakala ada yang mengajukan permohonan disertai proposal.
Ketua tim penyusun tiga buku sejarah lokal Kulon Progo, Ahmad Athoillah menguraikan, dalam penyusunan buku sejarah lokal Kulon Progo pihaknya menggunakan metodologi sejarah melalui pengumpulan sumber, reportase dan penyajian data. Proses tersebut sudah dimulai sejak Mei 2021. Diakui Ahmad, cukup banyak kendala yang dihadapinya dalam proses pengumpulan data.
"Kalau buku 'Puncak Menoreh' terbilang lancar karena narasumber yang ikut kerja bakti membangun Suroloyo masih hidup, meski kita tidak bisa memperoleh foto camat pertama di sana, bahkan sampai ke keluarganya. Sementara buku 'Sejarah 12 Kapanewon di Kulon Progo', kita sulit menemukan data yang sama seperti Girimulyo misalnya, sempat tiga kali pindah kecamatan dan datanya tidak ada semua," ungkap Ahmad.
Sebagai solusi, tim penyusun kemudian mengandalkan data dari DPRD DIY. Mereka juga menggali berbagai informasi dari banyak pihak terutama pegawai kapanewon.
"Kemudian yang 'Pahlawan Kawiijo', narasumber yang hidup tinggal cucunya. Padahal cucunya itu masih berusia tujuh tahun ketika digendong Kawijo sebelum ia gugur karena tertembak. Jadi hanya seperti rekonstruksi saja," jelasnya.
Baca Juga: Lepas Pengawasan, Balita di Kulon Progo Tewas Tenggelam di Kolam Saat Ditinggal Ibu Cuci Baju
Diuraikan Ahmad, buku 'Puncak Menoreh' berisi sejarah pembangunan wisata Suroloyo dengan tujuan membedah daya tarik wisata melalui kajian sejarah lokal. Kemudian buku 'Sejarah 12 Kapanewon di Kulon Progo' berisi sejarah awal kapanewon digunakan dalam birokrasi Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Yogyakarta dan masa kolonial serta masa setelahnya. Buku ini juga menyajikan sejarah masing-masing Kapanewon di Kulon Progo.
Sementara buku 'Pahlawan Kawijo' menceritakan tentang sosok Kawijo yang merupakan pemuda dari Serut, Pengasih. Kisah tentang jasa-jasa dan perjuangannya bagi daerah bukan hanya legenda sehingga patut diwariskan kepada generasi muda.