Kalau sekilas kita baca, dua norma itu baik-baik saja adanya, yakni berupa larangan melakukan kekerasan atau pelecehan seksual, sehingga pelakunya diancam sanksi. Namun, kalau kita cermati lagi, lantas bagaimana bila perbuatan itu (menyentuh, mengusap, dan seterusnya...) telah mendapat persetujuan korban ?
Baca Juga: DOKU Dukung Pelaku UMKM dalam Peluncuran Aplikasi Marketplace INACRAFT
Inilah yang jadi masalah. Ini penting dipertanyakan karena dalam sistem hukum yang dianut Indonesia adalah asas legalitas, yakni kalau tidak ada larangan, orang tidak dapat dihukum. Tidak seorangpun dapat dipidana kecuali telah ada aturan yang melarangnya.
Dengan pemahaman seperti itu, maka bila perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m, bila dilakukan dengan persetujuan korban, maka tidak masuk perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman.
Untuk itulah mengapa sejumlah kalangan termasuk Muhammadiyah menyatakan aturan tersebut justru melegalkan seks bebas. Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Almuzammil Yusuf juga mempertanyakan hal itu, apakah kalau ada persetujuan dari korban, maka perbuatan tersebut diperbolehkan dalam pergaulan mahasiswa/i kampus di Indonesia ?
Baca Juga: Kandungan Gizi Daging Belut yang Gurih, Bisa Membantu Kesehatan Tulang dan Gusi
Mendikbudristek Nadiem Makarim sendiri kepada media mengaku kaget Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 menjadi heboh. Secara tegas ia menyatakan tidak setuju dengan seks bebas.
MUI mengapresiasi niat baik dari Mendikbudristek untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.
Namun, Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi telah menimbulkan kontroversi, karena prosedur pembentukan peraturan dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 Tahun 2019 dan materi muatannya bertentangan dengan syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Baca Juga: Jasad Wanita dan Bayinya yang Ditemukan di Proyek SPAM Kali Dendeng Dites DNA
Menurut MUI, ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Selanjutnya, ketentuan-ketentuan yang dikecualikan dari frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi terkait dengan korban anak, disabilitas, situasi yang mengancam korban, di bawah pengaruh obat-obatan, harus diterapkan pemberatan hukuman.*