Kemenkumham Dorong Reformasi Hukum Lewat UU No 5 Tahun 2019

photo author
- Selasa, 12 Oktober 2021 | 15:25 WIB
Tangkapan layar ketika Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk “Peran Kementerian Hukum dan HAM dalam Mendukung Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube DJHAM, Selasa (12/10/2021). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
Tangkapan layar ketika Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk “Peran Kementerian Hukum dan HAM dalam Mendukung Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube DJHAM, Selasa (12/10/2021). (ANTARA/Putu Indah Savitri)


JAKARTA, harianmerapi.com - Penetapan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan langkah maju guna merealisasikan program reformasi hukum.


Penegasan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Benny Riyanto dalam seminar nasional yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube DJHAM, Selasa (12/10/2021).​​​​​​


Benny mengatakan Kemenkumham yang mewakili pemerintah berhasil merevisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi UU No. 15 Tahun 2019 bersama DPR, dan memasukkan fungsi evaluasi, dalam UU disebut sebagai fungsi Pemantauan dan Peninjauan, sebagai langkah dari realisasi reformasi hukum.

Baca Juga: Potensi Pasar Game Capai Rp 24 Triliun, Luhut Minta Dikembangkan

“Amanah untuk melakukan evaluasi regulasi atau review terhadap seluruh regulasi termuat di dalam program bernama reformasi hukum,” ucap dia.

Sebelum pemerintah dan DPR melakukan revisi UU No. 12 Tahun 2011, pembentukan regulasi hanya terdiri atas lima fase, yaitu Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan dan Persetujuan, Pengesahan atau Penetapan, dan Pengundangan.

“UU yang dilahirkan (melalui proses ini, red.) masih berpotensi menimbulkan penyakit regulasi, seperti tumpang tindih, kontradiktif, obesitas hukum, dan lain sebagainya,” kata Benny.

Terdapat enam kondisi regulasi yang hendak diubah oleh pemerintah, yakni kondisi hiperregulasi, disharmoni, multi interpretasi, tidak efektif, biaya tinggi, hingga kondisi regulasi yang kurang berjiwa Pancasila.

Baca Juga: Jelang Penutupan PON XX Papua, Pemda DIY Siapkan Shelter Karantina bagi Kontingen

 

Oleh karena itu, setelah mengalami perubahan, jumlah fase proses pembentukan regulasi bertambah menjadi enam fase dengan penambahan fase Pemantauan dan Peninjauan setelah fase Pengundangan.

Penambahan fase Pemantauan dan Peninjauan, kata Benny, merupakan wujud penyempurnaan siklus regulasi guna mendukung program reformasi hukum yang diusung oleh Presiden Joko Widodo.

“Supaya setelah regulasi itu diundangkan dan diimplementasikan, masih ada mekanisme untuk memfilter regulasi itu,” ucap dia.

Baca Juga: Pembangunan Ibu Kota Negara yang Baru, Tahap Pertama Dialokasikan Anggaran Rp510 Miliar

Terdapat enam dimensi yang menjadi pedoman mengevaluasi peraturan perundang-undangan. Dimensi utama adalah Pancasila, kemudian diikuti dengan dimensi ketepatan jenis peraturan perundang-undangan, dimensi potensi disharmoni pengaturan, dimensi kejelasan rumusan, dimensi kesesuaian norma dengan asas materi muatan, serta dimensi efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Hudono

Sumber: Antara

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X