FPB Sukoharjo terkait masalah ini mendesak kepada pemerintah segera mengumumkan regulasi yang digunakan. Sebab saat diumumkan nanti juga akan menarik reaksi buruh apakah bisa menerima atau tidak. Apabila dilaksanakan maka dikhawatirkan berdampak besar saat dilakukan pembahasan bersama tripartit.
"Selain pembahasan, terpenting juga tahapan sosialisasi. Sebab baik buruh dan pengusaha tetap harus bisa menerima keputusan angka usulan ataupun penetapan UMK 2026. Jangan sampai setelah diputuskan nanti pihak pengusaha keberatan dan tidak mau membayar upah. Tentu ini akan berdampak besar bagi buruh karena menyangkut ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga," lanjutnya.
FPB Sukoharjo sudah berkomunikasi dengan Dewan Pengupahan Sukoharjo dan Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo. Hasilnya memang belum ada putusan dari pemerintah terkait regulasi yang digunakan untuk menentukan besaran UMK 2026.
"Ditengah kondisi ekonomi terus turun jangan sampai buruh terus dirugikan dengan menerima upah murah di 2026," lanjutnya.
FPB Sukoharjo sudah melakukan koordinasi internal melibatkan serikat buruh disejumlah perusahaan di Kabupaten Sukoharjo. Koordinasi kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Pasar Kartasura dan Pasar Ir Soekarno Sukoharjo.
FPB Sukoharjo tetap berpedoman pada hasil survei KHL sebagai dasar penetapan UMK. Pengajuan tersebut dilakukan setiap tahun kepada Pemkab Sukoharjo sebagai gambaran angka kebutuhan riil di masyarakat.
"Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi penentuan UMK tahun 2025. Kami masih menunggu. Tapi buruh Sukoharjo tetap meminta KHL sebagai dasar penetapan UMK. Tuntutan buruh Sukoharjo minimal 6,5 persen dan berdasarkan survei KHL tuntutan buruh Sukoharjo UMK tahun 2026 maksimal 8,5 persen," lanjutnya.
FPB Sukoharjo menegaskan upah tahun depan tetap harus naik. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi besarnya kebutuhan hidup saat ini. Terlebih lagi beban buruh sangat besar dengan berbagai tanggungan hidup keluarga dan kondisi ekonomi yang tidak stabil.
"Harga pangan naik sangat tinggi. Belum lagi kebutuhan hidup buruh lainnya juga harus dipenuhi seperti pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan lainnya," lanjutnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo Sumarno, mengatakan, masih menunggu keputusan pemerintah terkait regulasi yang digunakan untuk menentukan UMKM 2026. Sebab hingga sekarang belum ada putusan apapun.
Sumarno menjelaskan, setiap akhir tahun menjelang pembahasan hingga penetapan UMK sering terjadi perdebatan alot melibatkan tripartit yakni pemerintah, pengusaha dan buruh. Kondisi tersebut dianggap wajar karena disatu sisi pengusaha berharap tetap bisa membayar upah buruh dengan nilai yang terjangkau perusahaan.
Sedangkan disisi lain buruh meminta kenaikan upah untuk mengimbangi tingginya biaya hidup dampak naiknya harga kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, listrik, bahan bakar minyak (BBM) dan lainnya. Pemerintah dalam hal ini berada ditengah untuk mengakomodir kebutuhan pengusaha dan buruh.
Terkait UMK 2026 ini sudah dilakukan komunikasi melibatkan buruh dan pengusaha. Namun untuk pertemuan pembahasan resmi belum digelar. Hal ini terjadi karena Pemkab Sukoharjo masih menunggu regulasi dari pemerintah pusat.
"Harapannya besaran UMK 2026 yang akan ditetapkan pemerintah bisa diterima pengusaha dan buruh. Ini penting karena kedua belah pihak yang akan melaksanakan. Pengusaha wajib membayar upah dan buruh berhak menerima upah. Jadi berapapun angka yang diputuskan pemerintah harus bisa diterima," ujarnya.
Disperinaker Sukoharjo saat ini sudah melakukan komunikasi dengan pihak pengusaha yang berharap ada keringanan. Artinya kenaikan upah tidak terlalu signifikan mengingat kondisi ekonomi sekarang sedang lesu. Apabila kenaikan UMK 2026 terlalu tinggi maka dikhawatirkan sangat berdampak kepada para pengusaha.