3. Keluarga adalah Prioritas, Bukan Selingan
Masyarakat Norwegia disiplin bekerja, tetapi jauh lebih disiplin soal keluarga. Mereka menghormati waktu pulang, waktu istirahat, dan waktu bersama anak.
Nilai ini sejalan dengan budaya Jawa yang menempatkan keluarga sebagai pusat harmoni.
Dalam konteks Indonesia hari ini, banyak keluarga tersisih oleh pekerjaan dan hiruk-pikuk modernitas. Silaturahmi dua trah ini sekaligus menjadi pesan: “Keluarga adalah jangkar hidup; pekerjaan hanya perahu.”
4. Mencintai Alam sebagai Amanah Generasi
Di Norwegia, alam dijaga dengan serius — bukan sekadar aturan pemerintah, tetapi kesadaran moral warganya. Nilai ini sangat cocok dengan falsafah Jawa: hamemayu hayuning bawana serta ajaran Islam tentang manusia sebagai khalifah bumi.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang tak kalah indah, tetapi sering kalah oleh ketidakpedulian.
Acara silaturahmi ini mengajak keluarga untuk kembali menumbuhkan kecintaan pada alam dari hal sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, hemat energi, dan merawat ruang hidup.
5. Egaliter dan Rendah Hati
Norwegia menjunjung kesetaraan. Direktur dan petugas kebersihan sama hormatnya dalam interaksi. Masyarakat Jawa pun memiliki nilai serupa: ajining diri saka lathi — martabat diukur dari tutur dan perilaku, bukan jabatan.
Nilai ini relevan di Indonesia yang kadang masih silau gelar dan status. Pesannya jelas: kontribusi lebih utama daripada penampilan.
6. Tidak Menunda Kebaikan
Masyarakat Norwegia dikenal cepat dan tepat: jika bisa dikerjakan sekarang, tidak ditunda.
Dalam budaya Jawa dan Islam, nilai ini sudah lama dikenal tetapi berpotensi pudar akibat budaya santai yang sering kebablasan.
Keluarga besar diingatkan bahwa kemajuan bangsa dimulai dari kebiasaan kecil: tepat waktu, bertanggung jawab, dan menyelesaikan tugas tanpa menunda.
Silaturahmi yang Menghidupkan Kembali Nilai