Baca Juga: Sedkitnya 350 biro haji sudah diperiksa KPK dalam penyidikan kasus kuota haji
Menurutnya, langkah ini justru dapat menghambat proses rekonsiliasi dan keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa Orde Baru.
“Pertanyaan penting kemudian muncul, apakah kemajuan ekonomi dapat menghapus pelanggaran HAM? Atau keduanya justru harus dipertimbangkan secara dialektis agar lahir narasi sejarah yang lebih adil dan jujur?” tambahnya.
Edwi menutup dengan menekankan bahwa perdebatan seputar gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto mencerminkan benturan dua narasi besar, yaitu narasi pembangunan dan stabilitas versus narasi pelanggaran HAM dan otoritarianisme.
“Dari perspektif teori kritis, keputusan ini bukan semata pengakuan terhadap individu, tetapi tindakan politik yang memengaruhi pemahaman publik atas sejarah, keadilan, dan arah masa depan bangsa. Diperlukan keberanian kolektif untuk menghadapi kebenaran sejarah secara utuh, bukan hanya bagian yang menyenangkan,” pungkasnya. (*)