Proposal tersebut disebut digagas sejumlah pihak asal Israel bersama Gaza Humanitarian Foundation yang didukung AS dan Israel. Konsultan global Boston Consulting Group juga terlibat dalam aspek perencanaan keuangannya.
Diketahui, proyek ini tidak akan menggunakan dana dari pemerintah AS. Skemanya akan mengandalkan investor swasta hingga mencapai 100 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.642 triliun.
Gaza akan diubah menjadi kota pelabuhan modern dengan delapan kota satelit yang ditenagai kecerdasan buatan (AI).
Tidak hanya itu, rencana AS itu juga menyebut akan membangun sebuah taman manufaktur bernama “Elon Musk” di bekas zona industri Erez.
Baca Juga: Polsek Ngemplak Sleman Tangkap Pria Warga Magelang Pelaku Pencurian Iphone dan Uang
Kawasan tersebut sebelumnya dibangun dengan dana Israel untuk memanfaatkan tenaga kerja murah Palestina, namun akhirnya dihancurkan militer Israel.
Meski begitu, belum jelas terkait proposal ini mencerminkan kebijakan resmi AS. Baik Gedung Putih maupun Departemen Luar Negeri AS menolak memberi komentar atas bocoran tersebut.
Di sisi lain, rencana itu dinilai sejalan dengan pernyataan Donald Trump sebelumnya yang ingin “membersihkan” Gaza dan membangun ulang wilayah tersebut.
Tuai Kecaman Internasional
Baca Juga: Lisa Mariana akan diperiksa polisi besok, terkait dugaan pencemaran nama baik Ridwan Kamil
Perihal "Gaza Riviera" yang digagas Trump, hal itu kini menuai kecaman dari komunitas internasional.
Direktur Eksekutif Trial International, Philip Grant menyebut proposal itu sebagai upaya terselubung melakukan deportasi massal.
“Ini adalah cetak biru untuk deportasi massal, yang dipasarkan sebagai pembangunan,” ujar Grant dikutip dalam laporan yang sama.
Baca Juga: Dua truk terlibat kecelakaan di Jalan Ciu, begini kronologinya
Grant menegaskan, rencana semacam itu berpotensi menjadi contoh nyata kejahatan internasional. Ia menyebut pemindahan paksa penduduk, rekayasa demografi, dan hukuman kolektif masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.