HARIAN MERAPI - Masyarakat di Yogyakarta diminta untuk tidak membakar sampah karena menyebabkan polusi udara, risiko penyakit gangguan pernafasan bahkan memicu penyakit kanker.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajul “Awas Sampah dan Udara Tak Sehat Mengancam, Senin (21/8/2023), di Selasar Barat Gedung Pusat UGM.
Hadir sebagai pembicara adalah Pakar cuaca dan Iklim dari Fakultas Geografi, Dr. Emilya Nurjani, peneliti pengelolaan sampah terintegrasi dari Teknik Kimia FakultasTeknik UGM Ir. Wiratni, Ph.D., dan Dokter Spesialis Paru FKKM UG, dr. Ika Trisnawati, Sp.PD (KP).
Baca Juga: Ramai-ramai Bakar Sampah Jadi Pemicu Kualitas Udara di Kota Yogyakarta Kurang Baik
Wirani mengatakan, persoalan darurat sampah yang melanda DIY disebabkan karena daya tampung TPA Piyungan yang melebihi kapasitas. Seperti diketahui volume sampah yang masuk ke TPA Piyungan mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Pada tahun 2013 jumlah sampah yang masuk mencapai 397 ton setiap harinya dan pada tahun 2023 ini sudah hampir mencapai 800 ton per hari. Menurutnya untuk mengurangi beban TPA Piyungan, sudah saatnya sampah dikelola secara mandiri di tingkat desa hingga tingkat rumah tangga masing-masing.
“Sampah itu bisa dikelola secara mandiri dan skala kecil bisa menghasilkan uang,” katanya.
Baca Juga: 16.000 Biopori Sudah Dibuat di Kota Yogyakarta, Gerakan Mbah Dirjo Jadi Andalan Olah Sampah Organik
Bagi Wiratni pemerintah sudah melakukan upaya maksimal namun begitu perlu dukungan dari warga masyarakat dalam membantu pemerintah dalam bentuk memilah dan mengolah sampah secara mandiri.
“Bukan masalah teknologinya tapi masyarakat kita tidak aware, kita masih berpikir asal sampah saya keluar dari rumah,” katanya.
Ia menyebutkan bahwa sekitar 80 persen sampah di perkotaan adalah sampah organik. Menurutnya diperlukan edukasi dan kampanye soal mengolah sampah organik dengan mengolah sampah menjadi kompos dan pupuk cair.
Baca Juga: Sejak TPA Piyungan ditutup, volume sampah dari Kota Jogja terus menurun, ini sebabnya
“Umumnnya sampah yang tidak bisa dikelola itu hanya 10 persennya saja. Jika seluruh warga Yogya melakukan pemilahan dan pengolahan sampah mandiri maka TPA tidak harus mengelola sampai sekian ratus ton sampah,” paparnya.
Sementara dokter spesialis Paru dr. Ika Trisnawati Sp.PD (K) mengatakan membakar sampah bukan solusi dalam menyelesaikan persoalan sampah. Sebaliknya membakar sampah bisa memperparah tingkat polusi udara dan menimbulkan dampak risiko penyakit gangguan pernafasan.
“Polutan hasil pembakaran apapun bentuknya sifatnya toksik jika masuk ke kantong paru-paru menghasilkan dampak ringan sampai berat. dalam Jangka pendek bisa menimbulkan resiko terkena penyakit paru akut namun jangka panjang menimbulkan resiko kanker karena adanya paparan senyawa karsinogenik,” katanya.