Dalam perkara Umbu Rauta, PTUN Semarang memilih rumusan kedua. Eksepsi tergugat mengenai kompetensi absolut dikabulkan, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, dan dengan demikian pengadilan menyatakan diri tidak berwenang memeriksa lebih jauh. Akibatnya, pertanyaan penting yang diajukan penggugat mengenai kesesuaian keputusan rektor dengan Statuta UKSW, peraturan kepegawaian, dan asas asas umum pemerintahan yang baik, belum pernah dijawab oleh putusan.
Bahkan yurisprudensi yang dipakai untuk memperkuat putusan yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 48 K/TUN/2002 pun sudah usang dan memiliki kekeliruan fatal karena Hakim menyamakan kedudukan dekan dan dosen. Yurisprudensi yang lebih baru seperti pada Putusan MA Nomor 170 K/TUN/2021 dan Putusan Nomor 23/G/2024/PTUN/ABN diketahui Mahkamah Agung memutus perkara terkait pemberhentian pejabat oleh Rektor di lingkungan Perguruan Tinggi.
Di sinilah letak persoalan ketika judul berita menyederhanakan amar tersebut menjadi “gugatan kandas”. Publik tidak diberi kesempatan memahami bahwa pengadilan belum menilai isi perkara. Kesannya, keputusan rektor sudah dibersihkan dari segala keberatan, padahal dari sudut hukum, pemeriksaan baru selesai di pintu masuk.
Kewenangan Rektor dan Kualitas Demokrasi Kampus
Di luar perdebatan istilah, perkara ini menyentuh soal lain yang lebih prinsipil, yaitu batas kewenangan rektor perguruan tinggi swasta dan implikasinya bagi demokrasi di lingkungan kampus dan justru mengancam pejabat di lingkungan Perguruan Tinggi.
Umbu Rauta dalam gugatannya menolak cara pandang yang menempatkan kewenangan rektor seolah hak prerogatif yang tidak bisa disentuh. Ia merujuk pada ketentuan Statuta UKSW yang mengharuskan pemberhentian dekan disertai alasan. Ia juga menunjuk peraturan kepegawaian yayasan yang mengatur jenis sanksi dan tata cara penilaian kinerja. Dalam kerangka itu, keputusan rektor bukan kehendak sepihak. Keputusan harus bersandar pada alasan yang konkret, rasional, dan terbuka untuk diuji.
Lebih jauh, posisi Statuta UKSW sendiri diperdebatkan. Pihak rektor cenderung memandang Statuta sebagai produk internal yayasan. Penggugat menempatkannya sebagai bagian dari jaringan peraturan yang lahir karena perintah Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan peraturan pelaksananya. Perguruan tinggi swasta yang memilih mengelola mandat negara di bidang pendidikan tinggi masuk ke dalam ruang hukum publik. Konsekuensinya, keputusan rektor terkait jabatan akademik bukan murni peristiwa privat, melainkan tindakan pejabat yang layak dinilai dengan kacamata hukum administrasi negara.
Di atas itu semua, penggugat mengingatkan bahwa Mahkamah Agung dan PTUN dalam sejumlah perkara sebelumnya pernah membuka ruang agar rektor perguruan tinggi swasta digugat di PTUN ketika bertindak dalam kapasitas menjalankan urusan pemerintahan di bidang pendidikan. Sebagai contoh, dalam Putusan MA Nomor 413 K/TUN/ 2007 Hakim membatalkan pemberhentian seorang Ketua Program Pascasarjana diberhentikan dari jabatannya karena dilakukan tanpa dasar dan landasan yang kuat, dengan demikian telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Perkara Umbu Rauta diminta dibaca dalam rangkaian praktik peradilan tersebut, bukan sebagai sengketa internal yang kebetulan masuk ke ranah pengadilan administrasi.
Dampak sosialnya sudah terasa jauh sebelum amar putusan dibacakan. Dosen, alumni, dan mahasiswa Fakultas Hukum UKSW mencatat keresahan. Aksi protes muncul. Pertanyaan tentang rasa aman sivitas akademika ketika menyampaikan kritik terhadap kebijakan kampus mengemuka. Jika sengketa seperti ini ditutup dengan narasi tunggal “gugatan kandas” dan “kewenangan rektor ditegaskan”, sinyal apa yang dikirim kepada warga kampus tentang makna keadilan dan ruang perbedaan pendapat?
Perguruan tinggi mengajarkan hukum dan demokrasi di ruang kuliah. Ketika warga kampus sendiri menggunakan jalur hukum untuk mempersoalkan keputusan pimpinan yang dinilai melanggar aturan internal dan asas keadilan, jawaban yang muncul semestinya bukan sekadar penegasan kekuasaan. Putusan PTUN Semarang dalam perkara ini pun belum berkekuatan hukum tetap karena masih terbuka ruang upaya hukum berupa banding dan kasasi. Selama jenjang itu belum ditempuh atau belum selesai, klaim bahwa tindakan rektor pasti benar dan sudah dinyatakan sah oleh pengadilan adalah kesimpulan yang prematur, jika tidak ingin disebut keliru. *