HARIAN MERAPI - Tim kuasa hukum mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Umbu Rauta menyesalkan terkait pemberitaan yang terkesan menyudutkan kliennya terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang dalam perkara Nomor 55/G/2025/PTUN.Smg.
Menurut tim kuasa hukum Umbu Rauta dari Ave Iustitia Law Firm yang terdiri atas Dr. Nimerodi Gulo, S.H.,M.H., Tyas Tri Arsoyo, S.H.,M.H., Yakub Adi Krisanto, S.H.,M.H., dan Sri Wahyuningsih, S.H., dalam perkara tersebut, PTUN Semarang memang menyatakan gugatan “tidak dapat diterima”, namun secara gamblang hakim dalam putusannya menuliskan bahwa pokok sengketanya tidak dipertimbangkan.
Sebagaimana diketahui Umbu Rauta menggugat Rektor UKSW ke PTUN Semarang atas Keputusan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Nomor: 024/KR-Pb/04/2025, tanggal 30 April 2025 tentang Pemberhentian dari Jabatan Dekan Fakultas Hukum UKSW.
Baca Juga: Rektor UKSW Salatiga Menangkan Gugatan di PTUN Semarang, Ini Kata Intiyas dan Tim Kuasa Hukumnya
"Dengan demikian, pengadilan belum pernah memeriksa secara substantif apakah alasan pemberhentian dekan sudah sah, proporsional, dan sesuai dengan hukum administrasi negara. Di titik ini, narasi resmi yang beredar di media mulai bergeser dari apa yang sebenarnya terjadi di ruang sidang," kata Nimerodi Gulo dalam materi hak jawabnya, Jumat (12/12/2025), menanggapi pemberitaan di Harian Merapi yang berjudul 'Rektor UKSW Salatiga Menangkan Gugatan di PTUN Semarang, Ini Kata Intiyas dan Tim Kuasa Hukumnya'.
Menurutnya, berita yang beredar menonjolkan dua hal. Pertama, eksepsi tergugat tentang kompetensi absolut dikabulkan. Kedua, gugatan dinyatakan tidak diterima. Di atas fondasi itu, keputusan rektor memberhentikan Umbu Rauta sebagai Dekan Fakultas Hukum UKSW dan mengangkat dekan baru kemudian digambarkan sebagai kelanjutan wajar dari proses evaluasi kepemimpinan dan kepatuhan terhadap pakta integritas.
Baca Juga: Polemik tambang di lereng Slamet diklaim sudah ditangani Pemprov Jateng
Dokumen perkara memberi warna lain. Sejak diangkat sebagai dekan untuk periode 2022-2027, Umbu Rauta menyodorkan catatan kinerja Fakultas Hukum yang berisi akreditasi unggul, penguatan jabatan fungsional dosen, pengembangan kerja sama dengan berbagai lembaga, serta inovasi pembelajaran. Keterangan itu tidak berdiri sendiri. Sejumlah saksi dosen, alumni, dan mahasiswa yang dihadirkan di persidangan menyatakan bahwa suasana internal fakultas selama masa kepemimpinan Umbu Rauta justru kondusif dan produktif.
Konflik terbuka bermula pada Desember 2024. Rektor mengirim surat berjudul “Teguran Keras Pertama dan Terakhir”. Teguran tersebut bukan terkait kinerja Dekan akan tetapi karena dianggap tidak patuh atas permintaan rektor menegur salah seorang dosen di FH. Menurut penggugat, jenis sanksi seperti itu tidak pernah diatur dalam Statuta UKSW maupun Peraturan Kepegawaian Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana. Fakultas Hukum menyampaikan keberatan tertulis atas teguran tersebut. Tidak lama kemudian, Umbu Rauta menerima surat apresiasi dari rektor yang memuji kinerja fakultas dan memintanya tetap memimpin Fakultas Hukum. Beberapa bulan sesudah rangkaian teguran dan apresiasi itu, dua surat keputusan terbit. Umbu Rauta diberhentikan sebagai dekan (berbarengan dengan pemberhentian Kepala Program Studi S1 dan Koordinator Kemahasiswaan, Kerjasama, dan Kealumnian), dan seorang dekan baru diangkat.
Baca Juga: Para pejabat, ini saran dari pakar jika bantu korban bencana
Alasan yang dipakai untuk mendasari pemberhentian pun dipersoalkan di persidangan. Soal penanganan perkara dosen, soal kerja sama fakultas dengan pihak luar, sampai tudingan bahwa dekan tidak dapat bekerja sama dengan rektor, dijawab dengan rujukan pada notula, surat menyurat, dan kesaksian. Dalam kesimpulan tertulis, tim kuasa hukum Umbu Rauta menyebut alasan tersebut tidak sejalan dengan fakta yang terungkap dan tidak memenuhi standar penilaian kinerja yang objektif. Di sini terlihat jarak antara narasi resmi yang hanya menyatakan “gugatan kandas” dan isi berkas perkara yang memuat kronologi, fakta, dan bantahan yang jauh lebih kaya.
“Tidak Diterima” Bukan “Ditolak”
Perbedaan istilah dalam amar putusan yang tampak teknis sesungguhnya menentukan cara publik membaca perkara ini. Dalam hukum acara PTUN, “gugatan ditolak” dan “gugatan tidak diterima” bukan dua bentuk kalimat yang bisa dipertukarkan begitu saja.
Ketika gugatan ditolak, berarti Majelis Hakim sudah memeriksa pokok perkara. Alat bukti diletakkan di meja persidangan, saksi dan ahli didengar, lalu pengadilan menyimpulkan dalil penggugat tidak terbukti atau tidak beralasan hukum. Dalam posisi itu, tindakan pejabat yang digugat dinyatakan tidak melawan hukum.
Baca Juga: Penahanan Botok CS dipindahkan ke Pati, perkara tokoh AMPB dilanjutkan
Sebaliknya, ketika gugatan dinyatakan tidak diterima, pengadilan berhenti di soal kelayakan formil atau kewenangan mengadili. Putusan semacam ini lazim berkaitan dengan batas waktu pengajuan gugatan, syarat administrasi yang tidak terpenuhi, atau penilaian bahwa perkara jatuh di luar kompetensi absolut PTUN. Pokok perkara belum disentuh, sehingga tidak ada penilaian apakah tindakan pejabat itu benar atau salah dari sudut pandang substansi.