"Kalau penerjemahannya seperti yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan (Mendikdasmen Abdul Mu'ti) itu hanya payung umum yang operasionalnya tetap seperti sekarang ini, atau ada hal-hal yang berdampak buruk, baru di situ kami akan mengambil kebijakan. Kami tidak akan tergesa-gesa," ujarnya.
Terhadap implementasi putusan MK itu, Haedar mengusulkan dua pendekatan agar lembaga pendidikan swasta tetap bisa berkembang sekaligus terjangkau oleh masyarakat.
Pertama, sekolah swasta tetap menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakat umum, seperti yang dilakukan Muhammadiyah selama ini. Kedua, mengusulkan negara memberi ruang bagi sekolah unggulan swasta untuk berkembang dan menjawab kebutuhan khusus sebagian masyarakat.
"Kita kan tidak pernah mempertentangkan antara golongan atas dan bawah, karena Indonesia tidak menganut Marxisme, ada kelas atas, kelas bawah, ada kelas proletar, ada kelas borjuis, tapi seluruh masyarakat harus terlayani. Berarti kan yang umum terlayani, yang khusus terlayani, itu opsinya," kata Haedar Nashir.
MK pada bulan lalu memutuskan negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, harus menggratiskan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Putusan MK itu menjawab permohonan uji materi yang diajukan oleh lembaga masyarakat sipil bernama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia beserta tiga orang ibu rumah tangga, yakni Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.(*)