Bahkan dalam kehidupan sehari-harinya, kutipan Pram dari “Anak Semua Bangsa” menghiasi aksesori anting yang dikenakannya.
"Cinta itu indah, begitu juga kebinasaan yang akan membuntutinya. Orang harus berani menanggung akibatnya,” begitu bunyi kutipan yang menjadi pengingat baginya untuk selalu menghadapi hidup dengan keberanian.
Adapun, Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.
Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, Pram begitu ia akrab disapa membaktikan hidupnya untuk mencatat sejarah, perlawanan, dan kemanusiaan melalui karya-karyanya.
Ia memulai karier menulis sejak usia muda, dengan karya-karya awal seperti “Kranji” dan “Bekasi Jatuh” yang memuat pengalaman pribadinya selama revolusi kemerdekaan.
Namun, nama Pram melambung lewat karya-karya besarnya seperti “Tetralogi Buru” yang meliputi “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”.
Karya tersebut ditulis saat ia menjalani masa pembuangan di Pulau Buru, di bawah rezim Orde Baru.
Baca Juga: Polsek Kartasura tangkap pelaku balap motor liar yang meresahkan masyarakat
Lewat karakter Minke, ia mengisahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme, sekaligus membedah isu sosial dan politik pada zamannya.
Pramoedya juga dikenal sebagai penulis Indonesia dengan pengaruh global. Karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, menjadikannya simbol sastra Indonesia di panggung dunia.
Ia pernah masuk nominasi Nobel Sastra dan diakui sebagai tokoh penting yang membawa wajah Indonesia ke dunia internasional.
Namun, kehidupan Pram tidak pernah lepas dari kontroversi. Ia beberapa kali dipenjara karena keberpihakannya pada rakyat kecil dan keberaniannya berbicara tentang keadilan.
Walau demikian, keberanian dan konsistensinya tetap menjadi inspirasi. Hingga akhir hayatnya pada 30 April 2006, Pramoedya terus menulis, meninggalkan warisan abadi yang memperkuat identitas Indonesia di mata dunia.*