Jumlah ini setara setidaknya 18 kursi dari 580 kursi DPR RI. Tawaran ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan, antara lain:
1.Ambang batas parlemen 4 persen terlalu besar yang mengakibatkan wasted vote (suara yang tidak terpakai) terlalu besar. Hasil riset pihaknya menunjukkan, total wasted vote pada Pileg 2014 adalah 21,79 persen atau 124.972.491 suara dengan metode hitung Kuota Hare. “Sementara total wasted vote pada Pileg 2019 adalah 21,43 persen atau 29.532.028 suara dengan metode hitung Sainte Lague Murni. Kami belum menghitung total wasted vote pada Pileg 2024 karena membutuhkan tim yang banyak melakukan simulasi ini,” urai Ridho.
2. Tawaran desain ambang batas 2,5 persen hingga 3 persen menunjukkan, bahwa sebuah fraksi minimal dapat mendistribusikan para anggotanya ke semua Alkep DPR RI.
3. Jika diberlakukan ambang batas parlemen nol persen, pelembagaan partai politik tidak terjadi. Ketika Pileg 2004 menerapkan ambang batas parlemen nol persen tersebut mengakibatkan ada satu fraksi yang terdiri dari beberapa partai politik yang pada akhirnya fraksi tersebut bubar di tengah jalan karena beragamnya perbedaan di internal fraksi tersebut.
Jadi, semua keputusan pasti ada risikonya masing-masing. Tidak ada keputusan yang ideal dan menyenangkan semua pihak.
“Namun, jalan tengah merupakan cara yang terbaik dalam menyelesaikan masalah, sehingga ada titik temu memperkecil risiko buruk,” tandas Ridho.*