HARIAN MERAPI - Empat isu besar menimbulkan pro dan kontra pada 2024 lalu. Pertama, soal presiden boleh kampanye dan yang kedua, keputusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres tahun lalu.
Sedangkan ketiga, peringatan darurat, serta keempat, yakni kotak kosong dalam Pilkada 2024 lalu. Pertarungan antara kelompok pro dan kontra mencerminkan ketegangan politik semakin tajam.
Demikian dipaparkan Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA, saat menjadi pembicara seminar bertema, "Demokrasi di Ujung Tanduk: Refleksi Indonesia Tahun 2024".
Baca Juga: SPBU Cuplik Sukoharjo Terbakar, Ini Dugaan Penyebab Kebakaran
Selain Dr Ridho, seminar yang digelar Gedung Ibrahim UMY, baru-baru ini, juga menghadirkan Prof. Iwan Satriawan (Pakar Hukum Tata Negara UMY). Pelaksanaan seminar bersinergi dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammdiyah.
Dalam kesempatan tersebut, Dr Ridho juga menjelaskan, kelompok pro seringkali memperjuangkan kebijakan pemerintah yang dinilai menguntungkan penguasa, seperti dalam kasus revisi UU KPK.
Juga dalam pembuatan UU Omnibus Law, serta perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK). Di sisi lain, kelompok kontra menggambarkan situasi demokrasi.
“Yaitu, situasi demokrasi yang semakin memburuk, dengan ancaman dominasi penguasa dan persekongkolan oligarki yang merugikan masyarakat luas,” urainya.
Baca Juga: Seorang warga tewas dimangsa harimau di Mukomuko, begini kronologinya
Ditambahkan, dinamika yang terjadi sepanjang 2024 bisa digambarkan sebagai sebuah serial film Drama Demokrasi (Dramoksi). Ada aktor protagonis (heroes) yang diperankan oleh sekelompok masyarakat sipil, dan aktor antagonis yang diperankan oleh pihak pemerintah.
Jadi, serial dramoksi ini adalah pertarungan vertikal antara rakyat versus penguasa. Sedangkan partai politik seringkali berada pada kelompok oportunis.
Artinya, partai politik tergantung ke mana arah mata angin, yang penting menguntungkan dan tidak membahayakan mereka. Sementara korban dari serial demokrasi ini adalah rakyat.
Baca Juga: Permintaan masyarakat meningkat, harga cabai rawit merah di Sukoharjo sentuh Rp 90.000 per kilogram
“Karena, tak pernah mendapatkan kepastian keadilan dan kesejahteraan, serta nasib demokrasi negeri ini yang semakin memburuk, ibarat telur di ujung tanduk," paparnya.