Polarisasi Politik Berkontribusi pada Kerusakan Iklim

photo author
- Rabu, 30 Oktober 2024 | 06:30 WIB
Konferensi pers Sidang Raya General Assembly ACT Alliance dengan tema Hope in Action - Together for Justice, di Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, Selasa (29/10).  (FOTO: WAHYU TURI K)
Konferensi pers Sidang Raya General Assembly ACT Alliance dengan tema Hope in Action - Together for Justice, di Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, Selasa (29/10). (FOTO: WAHYU TURI K)

HARIAN MERAPI - Perubahan iklim atau fenomena pemanasan global yang tak pernah berhenti mengakibatkan dampak bagi kehidupan manusia dan alam. Iklim yang berubah secara terus menerus ini disebabkan karena adanya interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari dan faktor-faktor lain yang disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti perubahan pengunaan lahan, penggunaan bahan bakar fosil dan polarisasi politik.

Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, Allisa Wahid mengatakan, saat ini dunia, khususnya Indonesia sedang menghadapi tiga jurang besar. Pertama, jurang spiritual di mana banyak masyarakat yang sudah mulai meninggalkan nilai luhur dan mengejar duniawi. Kedua, jurang sosial yang membuat sesama manusia banyak berkonflik, baik internal kelompok, antar agama maupun antar suku.

Baca Juga: Jokowi bicara tentang dampak perubahan iklim saat kuliah umum di di Universitas Standford, San Francisco, AS

"Terakhir adalah jurang ekologis di mana kita mengeksploitasi ibu pertiwi ini sedemikian rupa sehingga kemarahannya itu juga terasa dalam bentuk bencana alam. Di Indonesia, kita banyak sekali mengalami peningkatan bencana alam tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak sadar bahwa ini akibat dari perubahan iklim,” katanya dalam konferensi pers Sidang Raya General Assembly ACT Alliance dengan tema Hope in Action - Together for Justice, di Royal Ambarrukmo Hotel Yogyakarta, Selasa (29/10).

Menurutnya, banyak masyarakat yang merasa bahwa bencana alam ini merupakan nasib dan takdir yang harus diterima. Maka di sinilah letak persoalan besar yang harus diurai. Karenanya, organisasi masyarakat sipil terutama organisasi berbasis agama punya posisi unik dalam penyadaran dan pencegahan masyarakat terhadap perubahan iklim.

"Organisasi agama itu landasannya nilai-nilai spiritual. Kedua, organisasi berbasis agama itu hubungan antara umat dan pemimpinnya sangat dekat. Mudah untuk dimobilisasi. Ketiga, pengambil keputusan itu rata-rata juga umat beragama, karena itu sebetulnya organisasi beragama juga bisa mempengaruhi pengambil keputusan dan organisasi umat beragama juga punya banyak resources sampai pedalaman," jelasnya.

Baca Juga: Transisi Energi Bersih Bikin Warga Aman dari Pencemaran Lingkungan? Inilah 4 Strategi yang Bisa Dicanangkan Prabowo-Gibran

Lebih lanjut Allisa mengajak organisasi masyarakat sipil dan organisasi beragama bersama-sama maju ke depan untuk mengambil peran yang lebih besar terutama untuk mengingatkan pihak-pihak terkait.

"Ya (mengingatkan) sektor industri, terutama sektor industri ekstraktif, sektor pemerintah untuk bertanggungjawab dan segera mengambil langkah untuk memperbaiki situasi terkait dengan krisis iklim kita," sambungnya.

General Secretary World Council of Churches, Rev. Prof. Dr Jerry Pillay menambahkan, dalam Sidang Majelisnya di Karlsruhe pada tahun 2022, Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC) mengidentifikasi keadilan iklim sebagai prioritas utama bagi persekutuan ekumenis di tahun-tahun mendatang. Selain itu, pihaknya juga membentuk Komisi Keadilan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan.

Baca Juga: Survei Menyebutkan Kejagung Jadi Lembaga Hukum Paling Dipercaya Publik

"Interaksi antara pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang terus berlanjut serta ekstraksi dan konsumsi sumber daya alam yang tak terkendali, sedang merusak jalinan spesies dan ekosistem yang menjadi dasar bagi semua kehidupan. Hal ini mengancam mata pencaharian, kesehatan, sumber makanan dan air, serta memperburuk dampak bencana alam, merugikan mereka yang paling rentan dan meningkatkan ketidakadilan secara global," terangnya.

Menurut Jerry, manusia harus bertobat dari sifat egois, keserakahan, penyangkalan fakta dan sikap apatis yang terus berlanjut. Sebab semua itu mengancam kehidupan seluruh ciptaan Tuhan.

WCC memulai perjalanan di “triple COPs, dimulai dengan COP16 tentang keanekaragaman hayati di Kolombia, dengan mempromosikan pendekatan holistik terhadap pengelolaan lingkungan.

"Berakar pada iman dan dipandu oleh kepedulian terhadap ciptaan, WCC menyerukan kebijakan terpadu yang mengatasi tantangan yang saling terkait dari kehilangan keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan degradasi lahan, sambil memperkuat suara masyarakat adat dan komunitas rentan," imbuhnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

PMI DIY Kirim Tim Layanan Kesehatan ke Aceh Tamiang

Jumat, 12 Desember 2025 | 16:55 WIB
X