Ia mencontohkan apabila orang tua mencurigai anak mengalami diare setelah mengonsumsi susu sapi, maka orang tua dapat mencatat waktu maupun tanggal pemberian susu sapi tersebut. Selain itu, orang tua bisa mencatat berapa kali anak melakukan BAB dalam kondisi diare itu.
Apabila orang tua menghentikan konsumsi bahan makanan terkait dan terjadi perbaikan kondisi tubuh pada anak, hal itu juga perlu dicatat.
"Semua data tersebut harus dibawa dan dikonsultasikan ke dokter. Diskusi bersama dokter itu penting untuk menegakkan diagnosis karena tetap saja ada faktor kebetulan. Bisa saja ternyata anak tidak alergi makanan, justru ternyata gejalanya karena infeksi lain," ujar dokter Endah.
Membahas penyakit alergi makanan, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mencatat di 2020 secara global sekitar 220 juta orang di seluruh dunia memiliki alergi makanan, hal ini juga tak terkecuali pada anak-anak yang merupakan kelompok rentan.
Dalam jurnal bertajuk "Food allergy in children-the current status and the way forward" yang dirilis 2022 dijelaskan bahwa secara global 4 persen anak-anak di seluruh dunia mengalami alergi makanan. Prevalensi kasusnya terus meningkat dalam dua dekade terakhir.
Secara global ditemukan beberapa bahan pangan yang sering menimbulkan alergi makanan pada anak di antaranya susu sapi, telur, kacang-kacangan, makanan laut dengan cangkang seperti kepiting, udang, lobster, ikan, dan gandum.
Kondisi alergi makanan pada anak memberikan beberapa dampak signifikan di antaranya stres dan kecemasan, kualitas hidup yang menjadi buruk karena pembatasan pola makan, malnutrisi karena terbatasnya bahan makanan untuk dikonsumsi, dan mengancam jiwa apabila reaksi berat tidak ditangani dengan baik.*