"Boleh. Berarti, besok pagi kita bangun lebih awal," sahut Aliq.
"Lebih baik tidur, mumpung besok libur. Sayang kalau buang-buang tenaga." Tatapan Fajar tertuju ke layar ponsel.
"Jar, kalau ngobrol itu tatapan ke kami, bukan ke hal lain," ujar Asmad.
Fajar pun tersipu malu. Tiba-tiba, terdengar suara dari sudut pohon rindang.
Mereka tak menyadari ada sesuatu yang mengintai. Mereka masih asyik mengobrol, walaupun Aliq dan Asmad sudah mulai keringatan.
Fajar menyadari sesuatu yang dirasakan temannya. Dia pun diam-diam melangkah ke belakang, bersembunyi di balik semak-semak pemakaman.
"Wah ... kebetulan, aku membawa kain putih di tas. Akhirnya, terima kasih Tuhan. Berkat-Mu, waktu yang kutunggu tiba." Fajar tertawa geli.
"Liq, kamu lihat Fajar tidak? Aku baru sadar, dia terpisah dari kita," kata Asmad panik.
Aliq celingak-celinguk. "Lo, di mana Fajar?"
Dengan penuh kepanikan, Aliq berteriak ke arah kanan dan kiri. Seketika itu Asmad membungkam mulutnya. "Jangan teriak sembarangan. Ini kuburan, bukan wahana permainan."
Aliq mengiyakan. Lalu, ia meminta izin pada Asmad buang air kecil. Sekarang Asmad sendirian.
Ia bingung antara mencari Fajar atau menunggu Aliq. Ia pun melihat saung di antara batu nisan.
Ia duduk dan berpikir sejenak tentang hilangnya Fajar. Bersambung. (Seperti dikisahkan Muhammad Yusuf Shabran di Koran Merapi) *