Pekarangan yang rimbun pepohonan itu sedikit demi sedikit berubah menjadi beberapa petak rumah.
Salah satunya rumah milik Pak Pangestu (nama samaran).
Rumah Pak Pangestu kebetulan bagian dapurnya tepat berada di bekas jumbleng yang pernah menewaskan Dalip.
Suatu pagi Pak Pangestu menjumpai hal yang tidak wajar.
Sekilas dia melihat penampakan seorang bocah laki-laki jongkok di pojok dapur.
Dalam sekejap penampakan itu hilang. Namun meninggalkan sesuatu yang baunya teramat sangat menusuk hidung.
Tidak lain tidak bukan ternyata seonggok tinja manusia.
Sorenya Pak Pangestu wadul ke Mbah Wargo, bekas pemilik tanah.
Dari Mbah Wargo Pak Pangestu mendapat penjelasan, hari Sabtu Wage adalah hari geblaknya Dalip.
Pada hari tersebut Mbah Wargo selalu menyediakan "cadong" untuk cucu kesayangannya.
Berupa kembang setaman dilengkapi dengan makanan kesukaan Dalip ketika masih hidup.
Antara lain jenang gempol, bubur areh, kacang rebus, dan minuman camcao sirup.
"Ya ampuuun...saya lupa sak-plengan. Kemarin itu ternyata hari Sabtu Wage, hari geblaknya Dalip. Saya lupa tidak menyediakan "cadong" untuk cucu saya," ujar Mbah Wargo. (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *