HARIAN MERAPI - Kumpullan cerita misteri yang dialami Petruk saat bermain layangan.
Ia tak menggubris nasihat kakak dan nekat menginjak-injak nisan makam leluhur.
Musim kemarau tiba. Bagi anak- anak dan remaja pedesaan, musim kemarau identik dengan layang-layang.
Lapangan Soragan yang tidak begitu luas, menjadi jujugan untuk menerbangkan layang-layang.
Dengan bangga Prayit atau Petruk, nama parabannya, menenteng layang-layang ukuran besar buatan Pakdenya.
Layang-layang setinggi sembilanpuluh sentimeter itu digambari tokoh wayang Raden Gatotkaca.
Melihat lapangan Soragan sudah banyak orang menaikkan layang-layang, Petruk memilih lokasi lain yang lebih sepi.
Dia pun masuk ke makam desa yang letaknya di sebelah utara lapangan Soragan.
Petruk tidak ingin terganggu dengan layang-layang lain.
Layangan miliknya memang bukan untuk ‘sangkutan’ atau diadu. Maka dia memilih makam desa untuk menaikkan layang-layangnya.
“Yihuuu... indah sekali layanganku”, gumam Petruk dalam hati.
Asyik sekali remaja usia limabelas tahun itu memainkan layang- layangnya.
Sampai tidak tahu jika Parjo, Kakaknya, datang mencarinya.