Asyik nonton berbagai kesenian tradisional, ada Angguk, Sholawatan, dan lain-lain, tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam setengah duabelas.
Redi mengajak pulang karena mengantuk.
Untung, malam itu bulan sedang purnama.
Jalan-jalan di pedesaan tidak gelap.
Ketiganya berjalan kaki menuju rumah Mbah Mangun.
"Aduh, aku kebelet pipis. Tunggu sebentar aku tak pipis dulu, Tok," ujar Redi sambil melangkah menuju sebuah pohon besar, akan buang air kecil.
Baca Juga: Misteri Masjid Bangsa Jin 1: Tak Bisa Dilihat dengan Kasat Mata, Kadang Sunyi tapi Kadang Ramai
Teringat akan petuah Papanya jangan kencing sembarangan, sebelum melaksanakan hajat kecilnya, Redi uluk salam dan memohon izin akan pipis di tempat tersebut,
yaitu di bawah pohon kelengkeng tua berdiameter delapanpuluh sentimeter yang bagian bawahnya growong.
"Nuwun sewu, Mbah. Redi badhe pipis wonten mriki," begitu ujar Redi dalam bahasa Jawa halus.
Redi kaget. Tanpa diduga ada suara orangtua sepertinya menjawab uluk salamnya.
"Ora papa, Le. Dikepenakke wae. Kono kuwi pancen jambanku," begitu suara yang didengarnya berasal dari atas pohon.
Spontan kepala Redi mendongak ke atas.
Baca Juga: Cerita Horor Para Pengemis Penghuni Barak yang Dijadikan Tumbal Pesugihan