Ditambah lagi, kekurangan ketiganya adalah tidak membawa alat komunikasi berupa HT.
“Sayangnya saat itu, kami tidak memiliki HT, jadi untuk komunikasi hanya dengan mulut,” kata Alex.
Mereka saling berteriak memberitahukan keberadaannya.
“Misalnya saya teriak, Iqbal, Gigih saya sudah sampai di terowongan nih, kalian sudah sampai mana?” ujar Alex.
Terowongan? Oh, ada yang belum dijelaskan. Terowongan yang dimaksud Alex adalah vegetasi yang menutup hampir seluruh jalur pendakian.
Titik terowongan itu, kata Alex, berada sebelum pos Samarantu.
Adanya vegetasi itu membuat pendaki harus merangkak untuk menembusnya.
“Nah, kalau di awal ketika kami berangkat cuacanya gerimis, di tengah perjalanan tiba-tiba berubah menjadi cerah, bulan bersinar penuh,” tuturnya.
Baca Juga: Tragedi Hilangnya 2 Sahabat di Gunung Slamet Bagian 3: Pos 1, Samarantu!
Kondisi itu, kata Alex, dimanfaatkan untuk menghemat baterai. “Tidak perlu pakai senter, cukup mengandalkan cahaya bulan, jalurnya sudah kelihatan,” katanya.
Kemudian, setelah merangkak beberapa saat, Alex berhasil menembus terowongan yang ia sebut mirip jalur celeng atau babi hutan itu.
“Begitu keluar terowongan, di depan saya ada dua bangunan tembok, itu baru, atapnya seng, sinar bulan benar-benar menerangi bangunan itu dengan jelas,” katanya.
“Sengnya berkilat memantulkan cahaya bulan,” tambahnya.
1 Bangunan itu membujur, dan lainnya melintang. Mungkin, jika dilihat dari atas, seperti huruf T.
Bangunan itu, kata Alex, lebih mirip cungkup makam.