Tentu saja, dia tak mau memakannya. Orang itu terus membawa makanan yang isinya sama.
Tanpa sepengetahuan orang itu, Roso membuangnya. Setelah tiga hari, Roso tak melihat orang itu lagi.
Meskipun badan lemas, pikiran warasnya menyuruhnya meninggalkan tempat itu.
Baca Juga: Lima Kekuatan Generasi Qur’ani, Salah Satunya Quwwatul ‘Aqidah
Roso tentu bingung arah pulang. Dia turuni saja gunung itu dengan naluri melewati tapak-tapak jalan yang membekas.
Sampai kemudian, dia sampai di desa terdekat. Yang aneh, ketika ketemu orang, dia tak menceritakan kejadian yang dialami.
Roso terus saja menyusuri jalan. Untuk makan dan minum, dia meminta-minta di warung atau orang-orang yang ditemui.
Bajunya kusut, badannya kotor, Roso tampak seperti gelandangan.
Dia terus-menerus begitu sampai sebulan. Ajaibnya, langkah kakinya seolah-olah ada yang menuntunnya menuju desanya.
Dia tak kesasar. Dia akhirnya bisa sampai rumah. Orangtuanya dibuat kaget sekaligus terharu.
Ada yang memperkirakan, Roso dibawa sedan hitam itu ke Merapi atau Merbabu.
Dua gunung itu, arah timur dari desa. Mungkin mau dijadikan tumbal. Untungnya, kesadaran Roso tak sepenuhnya hilang.
Entah seperti apa cerita berkembang, penduduk desa semakin berhati-hati setiap melewati jembatan desa.
Anak-anak muda tak berani nongkrong sampai larut malam. (Seperti dikisahkan Hendra Sugiantoro di Koran Merapi) *