harianmerapi.com - Menurut catatan pendeta Buddha asal Tiongkok, I Tsing, Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671.
Kemudian dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682, diketahui imperium ini memiliki pemimpin bernama Dapunta Hyang.
Sang raja berangkat dalam perjalanan suci siddhayatra untuk "ngalap berkah". Ia memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di kapal, sementara 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang.
Prasasti Kedukan Bukit sendiri merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Menurut para ahli, prasasti ini mengadaptasi ortografi India.
Sedang prasasti Kota Kapur berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka. Diketahui kemaharajaan Sriwijaya telah menguasai bagian selatan Sumatra, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Dalam prasasti juga menyebutkan, Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya.
Peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah,
sehingga kemungkinan besar hal itu diakibatkan adanya serangan dari Sriwijaya. Ada dugaan kuat yang dimaksud Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.
Sriwijaya lantas tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya sendiri bermula di Palembang pada abad VII, kemudian menyebar ke sebagian besar Sumatra, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga surut sebagai Kerajaan Malayu Dharmasraya pada abad XIII.
Pelebaran kekuasaan ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Kerajaan Sriwijaya mampu mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara.
Dari observasi berhasil ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya.