harianmerapi.com - Naskah Sewaka Darma atau Serat Dewa Buda tahun 1435 menguraikan ajaran tentang kelepasan jiwa.
Ada tahap-tahap pelepasan jiwa, mulai dari persiapan jiwa menghadapi maut sebagai pintu gerbang pelepasan jiwa,
sampai perjalanan jiwa setelah meninggalkan “penjaranya” berupa jasad (wadah) dan kehidupan duniawi.
Baca Juga: Dari Kerajaan Galuh Hingga Kabupaten Ciamis 1: Muncul Setelah Tarumanegara Mengalami Kemunduran
Setiap jiwa yang sempurna menjalankan Sewaka Darma akan tiba di bumi kencana, tempat jati niskala.
Itulah ujung dari perjalanan jiwa karena disanalah terletak keabadian.
Kebahagiaan sejati atau moksa digambarkan dengan uraian: Suka tanpa balik duka, wareg tanpa balik lapar, hurip tanpa balik (a) pati,
sorga tanpa balik (ku) papa, hayu tanpa balik (ku) haya, (no) han tanpa balik wogan, moksa leupas tanpa balik (u) wulan.
Twatwag ka jati niskala. Uraian tersebut bisa diterjemahnya demikian: ‘Suka tanpa duka, kenyang tanpa lapar,
hidup tanpa mati, bahagia tanpa derita, baik tanpa buruk, pasti tanpa kebetulan, kelepasan jiwa tanpa kembali. Tiba pada keabadian sejati.’
Jiwa yang mencapai moksa digambarkan berada dalam dunia hening tanpa suara, hampa tanpa wujud, lembut tanpa jasad (sarwa tunggal wirsesa).
Dan pada akhir naskah disebutkan, “Seruanku menyembah Siwa karena memohon dengan tekun ajaran tentang maut”.
Dalam naskah Jati Niskala, disebutkan inti dunia terlihat pada kejernihan dalam menembus dunia niskala.
Kalimat sejenis juga terdapat dalam Sanghyang Siksakandang Karesian “mokta tanpa kenyataan, gaib tanpa wujud, menjadi hiyang tanpa menjadi dewa kembali. Itulah yang disebut paramalenyep.