harianmerapi.com - Keris merupakan senjata tardisional yang cukupu legendaris. Bahkan di zaman dahulu, keris memiliki multi fungsi.
Selain sebagai senjata dalam duel atau peperangan, sekaligus jug sebagai benda pelengkap sesajian.
Kono kehebatan sebuah keris tak bisa dilepaskan dari pembuatnya yang disebut empu. Ada satu empu terkenal di masa awal kerajaan Kasultanan Yogyakarta.
Menurut sejarah perkerisan di Yogyakarta memiliki catatan tersendiri. Hal itu seiring dengan pergerakan politik dalam negeri kerajaan Mataram Islam di Surakarta.
Pasca perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 - yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua kerajaan,
yaitu Kasunanan yang berkedudukan di Surakarta alias Solo dan Kasultanan di Yogyakarta - turut mempengaruhi banyak hal di kedua kerajaan sagatra terkait dengan identitas masing- masing.
Ketika Pangeran Mangkubumi mulai membangun kasultanan, tidak serta merta langsung mendirikan singgahsananya di Ibukota kerajaan di Yogyakarta yang sekarang ini.
Tapi terlebih dahulu menempati dan membangun pesanggrahan di Ambarketawang sebagai lokasi transit dalam masa transisi "palihan negari".
Setelah Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan diri bergelar Hamengku Buwono I, maka Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri.
Berdirinya kerajaan baru membawa konsekuensi, membutuhkan berbagai kelengkapan yang berkaitan dengan kerajaan.
Termasuk juga salah satunya soal berbagai jenis pusaka yang menjadi simbol kebesaran kerajaan.
Meski sejumlah pusaka kraton merupakan warisan dari kejayan Mataram Islam sebagai kekayaan kerajaan turun temurun.
Baca Juga: Petung Jawa Weton Sabtu Wage 23 April 2022, Pandai Bicara, Hati-hati Jika Memanjat Pohon