harianmerapi.com - Kisah misteri menjelang Perayaan Kemerdekaan terjadi saat aku tinggal di rumah dinas sekolah tempatku mengajar.
Tubuhku kian gemetaran. Keringat dingin membasahi sebagian tubuh yang berselimut hingga menutupi sekujur tubuh.
Bunyi musik marching band itu terdengar sayup-sayup. Entah memainkan lagu apa, yang pasti bukan lagu yang biasa murid-murid petugas pemegang marching bell mainkan.
Bukan lagu Hari Merdeka, Hallo-Hallo Bandung, Manuk Dadali atau pun Es Lilin.
Entah pukul berapa suara itu lenyap seiring mataku yang tak kuat menahan kantuk, aku pun tertidur pulas. Ketika bangun, suamiku masih pulas.
Aku beranjak, keluar kamar lalu menuju kamar mandi, menggosok gigi lalu berwudlu. Kakiku melangkah masuk kamar ketiga yang kugunakan untuk shalat.
Usai shalat Subuh, aku masih terduduk di atas sajadah tanpa berdoa atau zikir seperti biasa. Malah teringat dengan suara tadi malam yang sempat menggangguku.
Siapakah yang memainkanalat musik marchng bell di ruang seni? Aku ingat Amel, murid kelas empat yang sangat ingin ikut dalam pasukan khusus tapi belum kusertakan karena belum mahir.
Baca Juga: Syahrut Tarbiyah, Mendidik Diri dan Umat Selama Bulan Ramadhan
Ia rajin ikut latihan menjadi pemain cadangan, bahkan saat semua pasukan khusus pulang sekitar pukul lima, ia bertahan latihan sendiri di ruang seni.
Sesekali kutemani hingga kuminta ia pulang karena langit sudah dibalut gelap. Mungkinkah Amel? Tapi kalau ya, mengapa ia bisa berada di ruang seni malam-malam?
Bukankah kunci ruang seni ada padaku? Begitu pun dengan kunci pintu gerbang sekolah. Ah, pikiranku mulai ngelantur lagi.
Tetiba ingat perbincanganku dengan Bu Lilis, rekan guru yang sudah sangat lama mengajar di sekolah ini.
Ia selalu mengingatkanku agar hati-hati menempati rumah dinas yang berada di lingkungan sekolah.