Sadranan digelar pada Jumat Kliwon bulan ruwah, penanggalan jawa. Jika pada Ruwah tidak ada hari Jumat Kliwon maka nyadran akan dilakukan pada bulan Rejeb.
Menurutnya, ritual sadranan sebagai ungkapan rasa syukur warga pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang diberikan.
Warga juga memohon pada penguasa alam agar diberi berkah dan kelancaran rizki.
Pada ritual itu, warga membawa tenong berisi nasi tumpeng, ingkung, daging kambing dan beberapa jenis makanan, serta jajan pasar.
Baca Juga: Debut Muhadkly Acho Sutradarai Film Komedi 'Gara-Gara Warisan', Nahan Mewek Sampai Badan Gemetar
"Usai berdoa, makanan disantap bersama dan dibagikan pada warga yang datang," katanya.
Sebuah tradisi dari masakan yang disajikan pada ritual ini, katanya seluruh makanan yang disajikan tidak boleh dicicipi.
"Kami percaya bahwa apabila sampai melanggar hal itu, maka musibah akan muncul,” katanya.
Baca Juga: Bungahnya Christian Eriksen Kembali ke Timnas Denmark
Namun yang pasti, katanya ada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang di wariskan dari generasi ke generasi. Nilai itu yang menjalin erat warga.
Warga lainnya, Toni mengatakan warga Demangan harus ikut ritual, demikian juga yang mempunyai orang tua atau nenek moyang yang dimakamkan di Demangan, meski ia merantau.
Sadranan adalah wahana silaturahim, mendoakan orang tua dan nenek moyang yang telah meninggal, dan bergotongroyong membersihkan lingkungan petkampungan.
Baca Juga: Pengalaman Misterius, Menelepon Kakak Ipar Perempuan Tapi yang Menerima Suara Laki-laki
Dikatakan sadranan menjadi magnet yang melebihi Idul Fitri. Dalam sadranan mempunyai daya emosional yang sangat erat.