harianmerapi.com - Dua prajurit sepuh, Panembahan Trunajati dan Kyai Talijiwa melintasi daerah persawahan yang kekeringan, tandus, dan tak berair. Tanaman padi di situ rata-rata daunnya menjadi kekuningan, kering, dan akhirnya mati.
“Hati-hati, Adi. Di depan sebuah obor tertancap di pinggir lorong di sana tentu ada orang. Mudah-mudahan bukan orang yang bermaksud jahat atau perampok”, kata Panembahan Trunajati mengingatkan.
“He eh, mudah-mudahan tidak apa-apa”.
Baca Juga: Sunan Amangkurat Mas 1: Minta Bantuan Prajurit Pasuruan, Gagal Merebut Kembali Kartasura
Namun mereka berdua harus waspada setelah melihat sebuah panah api meluncur ke udara.
Kuda-kuda mereka lalu berjalan lambat sambil mengamati keadaan sekitarnya, sepertinya tidak ada sekelompok orang yang menghadang. Tetapi kenapa mesti melontarkan panah api?
Bukankah itu isyarat untuk sekumpulan orang yang berada baik di kejauhan maupun di sekitarnya. Kedua orang tua itu terperanjat.
Dari dari pohon-pohon di sekitar itu maupun pohon-pohon di kejauhan tepi lorong yang mereka lewati melorot turun beberapa puluh orang bersenjata.
Baca Juga: Sunan Amangkurat Mas 2: Melarikan Diri ke Madiun, Surapati Diincar Gubernur Jendral untuk Ditumpas
“Kakang Panembahan, kita selesaikan cepat-cepat cecunguk ini agar perjalanan kita tidak terlambat!”, kata Kyai Talijiwa sambil mengurai senjatanya yang berupa cambuk dan melilit di pinggang di balik bajunya.
“Ya”, jawab Panembahan Trunajati menggengam tongkat baja hitamnya.
Orang-orang yang baru saja turun dari pohon-pohon itu agaknya kelompok perampok yang sedang mencari mangsa.
“He, kalian ini siapa? Malam-malam berada di sini?”, bentak Kyai Talijiwa.
Baca Juga: Sunan Amangkurat Mas 3: Tumenggung Wiranegara Jamin Prajurit Pakubuwana Tak Berani Masuk Pasuruan
“Hahahahaaaa, kami adalah kelompok Singa Barong alas Pemalang. Kalian berdua siapa?”.