harianmerapi.com - Ini kisah nyata yang dialami seorang bidan desa Aning - sebut saja begitu. Malam itu turun mengguyur perkampungan dimana bidan Aning tinggal.
Sebuah pengalaman mistis yang tak pernah ia lupakan saat membantu seorang perempuan misterius melahirkan di tengah malam.
Ia sendirian malam itu, karena suaminya bertugas dì sebuah rumah sakit, sedang anak-anaknya tengah menuntut ilmu di luar kota.
Baca Juga: Anak Indigo yang Menyaksikan Hukum Pancung di Alun-Alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Bersama derasnya hujan terdengar ketukan pintu berulang kali. Bidan bergegas membuka pintu. Perempuan dengan perut terlihat hamil sudah berdiri di hadapanya memakai daster merah, rambutnya panjang dan wajah tampak pucat.
Sebagai bidan berpengalaman, ia sudah bisa meraba kalau perempuan akan melahirkan dan mengajaknya ke ruang persalinan.
Tanpa dibantu asisten melaksanakan tugasnya membantu persalinan hingga tak butuh waktu lama perempuan melahirkan dengan lancar.
"Bayinya laki-laki," ucap bidan Aning.
"Terima kasih," ujar perempuan itu singkat.
Bidan Aning membopong si bayi lalu meletakan di sisi ibunya. Tangisnya memecah malam yang masih dihiasi gemuruh hujan.
Ia segera menuju ke ruang belakang untuk menyiapkan keperluan lain. Begitu kembali ke ruang persalinan bidan Aning terkejut. Ibu dan bayinya sudah tak ada di tempatnya.
Bidan Aning tak berpikir macam-macam. Mungkin perempuan itu ingin cepat pulang merawat anaknya di rumah. Secarik kertas bertulisan alamat ditinggalkan di ranjang persalinan.
Esok harinya bidan Aning mencari alamat yang tertulis. Ia hanya ingin memastikan perempuan yang melahirkan semalam dalam keadan sehat dan tak akan meminta biaya persalinan kalau tamunya semalam orang tidak mampu.
Bidan mendatangi alamat yang dimaksud, sebuah rumah kontrakan yang sudah kosong. Tetangga di dekat rumah kontrakan bercerita, kalau penghuni rumah itu seorang perempuan yang tengah hamil, ia meninggàl seminggu yang lalu karena kecelakaan.
"Jadi yang melahirkan itu...?" Bidan Aning pun ambruk pingsan! (Seperti dikisahkan Siswanto di Koran Merapi) *