Mereka berdua selain Prajurit andal juga pintar menembakkan meriam agar pelurunya jatuh tepat sasaran.
Di langit timur warna merah menyemburat, burung-burung berkicauan di dahan pepohonan seakan memanggil matahari agar segera meninggi.
Angin laut yang berhembus menyapu daratan kota Makasar terasa dingin membuat para pemalas makin rapat menarik selimutnya agar tidurnya kian pulas.
Baca Juga: Kisah Perang Makassar Melawan VOC 4: Belanda Berkirim Surat Minta Agar Sultan Hasanuddin Menyerah
Di keheningan pagi yang mestinya tentram itu mendadak terdengar suara sirine dari kapal perang Belanda.
Semua warga kota Makasar mengerti, ini menandakan Belanda akan mengadakan serangan hari itu.
“Tembaaak!” teriak Karaeng Bonto Majanang memberi aba-aba kepada Karaeng Langkese yang sudah siap dengan meriam gedhe yang mereka beri nama Meriam Anak Makaasar.
“Glegeerrrrr...” terdengar suaranya menggelegar mantab dan keras sekali. Peluru sebesar paha orang dewasa itu meluncur deras, jatuh di kapal perang Belanda.
Baca Juga: Kisah Perang Makassar Melawan VOC 5: Digempur Habis-habisaan Prajurit Makassar Pantang Menyerah
Speelman dan semua prajuritnya yang berada di kapal itu dan sedang sarapan terjingkat kaget.
Bahkan beberapa orang terjatuh dari kursi duduknya di meja makan sehingga piring-piring dan seisinya jatuh berantakan dimana-mana.
Umpatan, cacian, makian, dan segala sumpah serapah keluar dari mulut-mulut orang Belanda itu. (Ditulis: Akhiyadi) *